Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani, Berawal dari Tak Suka Pelajaran Akuntansi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa dirinya dulu tidak menyukai pelajaran akuntansi saat menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (nomor 2 dari kiri) berkebaya merah brokat saat memimpin upacara HUT Kemerdekaan ke-74 RI di Departemen Keuangan/Instagram @smindrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani (nomor 2 dari kiri) berkebaya merah brokat saat memimpin upacara HUT Kemerdekaan ke-74 RI di Departemen Keuangan/Instagram @smindrawati

Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa dirinya dulu tidak menyukai pelajaran akuntansi saat menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

"Apasih akuntansi bikin pusing saja. Saya senang ekonomi bukan akuntansinya," ungkap Sri Mulyani dalam launching Badan Akun Standar (BAS) Mobile Online, Kamis (12/9/2019).

Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan ketika dirinya menjabat sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyadari bahwa akuntansi sangat penting, terutama dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

"Enggak suka bukan berarti itu tidak bermanfaat. Jangan-jangan yang tidak Anda sukai itu bermanfaat dan berguna untuk kita," imbuh Sri Mulyani.

Tanpa standar akuntansi yang baik, maka pemerintah tidak akan mampu menyusun LKPP dengan baik. Tanpa LKPP yang baik, pemerintah tidak akan mampu pula untuk menjelaskan APBN dengan baik kepada masyarakat.

Dengan standar akuntansi yang baik dan konsisten, pemerintah pun mampu membandingkan kinerja anggaran Indonesia dengan negara-negara lain sehingga pengelolaan APBN ke depannya pun bisa lebih baik.

Lebih lanjut, penyusunan LKPP dengan standar akuntansi yang baik juga membangkitkan wacana yang konstruktif di tengah masyarakat.

Sebagai contoh, Sri Mulyani mengatakan bahwa dahulu tidak ada pengamat atau ekonom yang menyoroti kinerja ekuitas pemerintah yang stagnan.

Sorotan atas ekuitas tersebut pada akhirnya mendorong pemerintah dan dalam hal ini Kemenkeu untuk mengkonsolidasikan LKPP dengan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD).

Stagnansi LKPD disebabkan oleh besaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang mencapai sepertiga belanja anggaran. Oleh karena itu, aset hasil belanja pun tercatat di LKPD, bukan di LKPP.

Memang, apabila merujuk pada LKPP 2018 dapat dilihat bahwa ekuitas pemerintah dalam laporan neraca menurun dari Rp1.540,78 triliun menjadi Rp1.407,8 triliun.

"Saya bilang Pak Wamen itu LKPP lama-lama makin jelek karena yang masuk ke aset kita sedikit," ujar Sri Mulyani.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhamad Wildan
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper