Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan industri petrokimia nasional dinilai mendesak dilakukan demi mengerek kinerja.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono di sela-sela diskusi bertajuk Optimalisasi Industri Petrokimia Nasional, Kamis (12/9/2019).
Fajar mengatakan Indonesia pernah menjadi negara dengan kapasitas produksi industri petrokimia terbesar di Asia Tenggara pada periode 1985-1998. Namun, kondisi tersebut saat ini berbalik sebab Indonesia menjadi negara tujuan impor dari negara Asia Tenggara.
Pasalnya, tidak ada lagi investasi baru di sektor petrokimia.
“Untuk itu, negara harus hadir dalam penguatan struktur industri petrokimia agar bisa kembali menjadi yang terbesar di Asia Tenggara,” kata Fajar.
Oleh karena itu, dia berharap rencana pemerintah untuk merevitalisasi pusat industri aromatik di Tuban, melalui restrukturisasi utang PT Tuban Petrochemical Industries.
Semakin cepat realisasi penambahan saham pemerintah dari 70% menjadi 95,9% di Tuban Petro, semakin baik bagi prospek pengembangan industri petrokimia nasional. Apalagi, industri petrokimia merupakan tulang punggung kemajuan ekonomi negara, setelah industri logam dan industri pangan.
Melalui penambahan kepemilikan saham pemerintah di Tuban Petro, maka kilang TPPI bisa dioperasikan dengan optimal sehingga bisa memberikan keuntungan yang lebih baik. Selain itu, optimalisasi aset Tuban Petro itu bisa menyubtitusi impor bahan baku kimia bagi sejumlah sektor manufaktur lain.
Saat ini, industri manufaktur dalam negeri membutuhkan lebih dari 2 juta ton bahan baku kimia aromatik. Kebutuhan itu dipenuhi melalui impor bahan baku.
Kilang TPPI diperkirakan bisa memroduksi aromatik dan menyubtitusi impor senilai US$2 miliar per tahun. “Jadi, optimalisasi Tuban Petro ini sangat ditunggu karena pada akhirnya akan menyehatkan kondisi devisa negara,” ujarnya.