Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Perlu Beri Insentif Pengembangan Pembangkit EBT

Institute For Essential Services (IESR) menilai selama ini pembiayaan memang masih menjadi batu sandungan pengembangan pembangkit EBT.
Pengunjung beraktivitas di dekat turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, di Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sindereng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (15/1)./JIBI-Abdullah Azzam
Pengunjung beraktivitas di dekat turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, di Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sindereng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (15/1)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Masalah pembiayan yang menjadi batu sandung pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia harus mulai disikapi dengan pemberian insentif.

Tercatat, dari 75 power purchase agreement (PPA) yang terkontrak sepanjang 2017-2018, sebanyak delapan PPA dengan total kapasitas 37,35 MW telah beroperasi komersial, 35 PPA total kapasitas 834,71 MW sedang dalam tahap konstruksi, sembilan PPA (400,1 MW) telah efektif dengan menyerahkan jaminan pelaksanaan proyek, 21 PPA (304,72 MW) belum efektif. Sementara itu, 2 PPA dengan kapasitas total 4,2 MW sudah mengalami putus kontrak atau terminasi.

Institute For Essential Services (IESR) menilai selama ini pembiayaan memang masih menjadi batu sandungan pengembangan pembangkit EBT. Indonesia perlu merilis sejumlah instrumen untuk mengatasi masalah pembiayan yang dialami pengembang dalam membangun pembangkit energi baru terbarukan, salah satunya lewat instrumen Viability Gap Fund (VGF).

Direktur IESR Fabby Tumiwa mengusulkan adanya pemberian insentif ke pengembang berupa Viability Gap Fund (VGF) untuk mengatasi disparitas tarif listrik PLN dengan tarif yang ditawarkan oleh swasta. Selama ini, kemampuan PLN membeli listrik ke pengembang swasta jauh dibawah nilai tarif yang ditawarkan. Dengan VGF, selisih pembiayaan antara yang dijual swasta dan dibeli PLN akan dibayarkan pemerintah melalui insentif.

Pemberian insentif diberikan ke pengembang dan dilakukan di awal proyek dengan besaran menyesuaikan masa berlaku PPA tersebut.

Sebelumnya, masalah pembiayaan ke pembangkit EBT sempat diusulkan dengan memberikan subsidi ke pengembang senilai Rp1,3 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Namun, usulan tersebut ditolak lembaga legislatif karena dinilai tidak tepat sasaran.

Fabby menuturkan pemberian insentif tersebut berbeda dengan subsidi yang sebelumnya diusulkan. Apalagi, pemberian insentif berupa VGF bukan hal baru sebab tercantum dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.  Hanya saja, VGF tersebut berlaku dalam pembangunan infrastruktur.

Fabby juga mengusulkan adanya pemberian insentif suku bunga domestik untuk proyek skala kecil. Dengan pemberian insentif, besaran suku bunga bisa lebih ditekan menjadi dibawah 8 persen.

“VGF diberikan di awal selama PPA berjalan, kalau di awal sudah dihitung, misalnya PPA set 30 tahun dikasi di awal perhitungan sudah jelas untuk nambah equity pengembang 20 persen,” katanya, Senin (19/8/2019).

Selain pemberian insentif ke pengembang, insentif juga diusulkan diberikan ke PLN. Pasalnya, dalam mengembangkan pembangkit EBT, PLN perlu mengeluarkan biaya intermiten untuk meningkatkan keandalan. Adapun pembangkit EBT bersifat intermeten atau tidak stabil sehingga PLN perlu melakukan investasi pembangkit yang mampu menjadi cadangan sumber daya jika sewaktu-waktu produksi listrik menurun.

Insentif lainnya yang dapat diberikan ke PLN yakni dalam bentuk subsidi mengembangkan pembangkit EBT. PLN diberikan subsidi untuk menutupi selisih biaya beli listrik ke pembangkit EBT yang nilainya dibawah kemampuan beli. Langkah ini dinilai mampu mendorong pengembangan lebih banyak pembangkit EBT.

Menurutnya, apabila subsidi selisih margin harga pembangkit EBT diberikan ke PLN, penerapan VGF tidak perlu dilakukan. Pilihan-pilihan insentif tersebut menjadi opsi bagi pemerintah untuk mendorong semakin banyak realisasi pembangkit EBT.

“Makanya kalau ditentukan VGF, tidak perlu subsidi ke PLN, yang diberikan hanya aspek berkaitan dengan intermitensi saja,” katanya.

Dia mengharapkan dengan penerapan insentif ke pembangkit EBT, baurannya dalam energi nasional bisa semakin meningkat. Terlebih saat ini, dari total kapasitas 5,2 GW PLTD di Indonesia, sebanyak 2,3 GW berada di WIlayah Indonesia Timur.

Apabila insentif pembangkit EBT mampu diterapkan, pembangunannya dapat dilakukan di Indonesia Timur sehingga menurunkan porsi pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) untuk PLTD di wilayah tersbeut. Pada akhirnya akan berdampak pada semakin murahnya listrik dan meningkatkan investasi bisnis.

“Berikan insentif pada daerah untuk mengembangkan energi terbarukan, misalnya lewat parameter kapasitas ET sebagai basis perhitungan dana transfer atau dana perimbangan (DAU),” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper