Bisnis.com, JAKARTA - Peningkatan ekspor pakaian bukan rajutan diyakini tidak akan mendongkrak serapan kain lokal. Hal ini lantaran pabrikan lebih memilih bahan baku impor yang lebih murah karena tak dikenail pajak pertambahan nilai (PPn) 10%.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta mengatakan peningkatan nilai ekspor pakaian bukan rajutan pada Juli tidak akan meningkatkan serapan kain lokal. Pasalnya, kain impor yang digunakan untuk garmen ekspor tidak dikenakan pajak penghasilan (PPn) sebesar 10%.
"Margin garmen tipis banget, sekitar 5%. Jadi, dia akan lebih memilih pakai bahan baku impor,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (15/8/2019).
Industri garmen tujuan ekspor menggunakan kain impor sebesar 80% atau sekitar 400.000 ton dalam setahun. Menurutnya, jika perlakuan antara kain lokal dan impor sejajar, serapan kain lokal untuk tujuan ekspor dapat meningkat menjadi 250.00 ton atau 50% dari kebutuhan industri garmen orientasi ekspor.
Alhasil, utilitas pabrikan pun dapat meningkat ke sekitar level 60% dari posisi saat ini di sekitar level 50%.
Namun demikian, Redma menyatakan, akan ada peluang dari niat pembeli merek internasional yang menginginkan untuk meningkatkan pasokan negeri pembuat garmen.
Untuk memenuhi permintaan tersebut perlu adanya penelitian dan pengembangan terhadap proses produksi kain lokal.
Menurutnya, insentif pajak super yang mengurangi pajak hingga 300% pada pelaku industri yang melakukan penelitian dan pengembangan tidak dapat membantu dalam memanfaatkan peluang tersebut
"Karena perlu fresh money. Kalau dari bank tidak akan mungkin karena penelitian dan pengembangan tidak ada jaminannya. Kalai mau produksi bisa,” katanya.