Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Kajian Makro LPEM Universitas Indonesia (UI) Febrio Kacaribu mengimbau agar defisit neraca dagang tetap bisa dijaga di bawah 3%.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengusahakan untuk menjaga posisi ekspor Indonesia tetap tumbuh dan tidak menurun di tengah penurunan harga komoditas andalan yakni CPO dan batu bara dalam rangka menekan defisit neraca dagang.
Untuk diketahui, ekspor Indonesia per Juli 2019 mencapai US$15,45 miliar, meningkat dari 31,02% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Namun, nominal ekspor tersebut turun 5,12% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Terkait dengan impor, Febrio menyebutkan bahwa penurunan impor tersebut terkesan bagus, tetapi penurunan tersebut didorong oleh melemahnya industri. "Impor kita itu 90% input dan barang modal. Kalau itu turun tajam artinya kita memproduksi lebih sedikit," kata Febrio, Kamis (15/8/2019).
Menurut Febrio, defisit neraca dagang yang diikuti dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi sesungguhnya tidak disebabkan oleh perang dagang beberapa waktu terakhir.
Hal ini karena perekonomian Indonesia relatif tertutup dan sumbangsih ekspor atas tidak berkontribusi besar kepada PDB.
"Perang dagang itu dampaknya ada tapi terbatas, dampak pada Indonesia itu cuma kurs yang tidak stabil. Sesungguhnya ini blessing in disguise," ujar Febrio.
Menurutnya, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan peluang dari perang dagang karena saat ini banyak pabrik-pabrik di China yang pindah karena terdampak perang dagang.
Namun, Indonesia masih belum mampu memperbaiki masalah perizinan dan meningkatkan peringkat ease of doing business (EoDB) sehingga banyak dari industri-industri tersebut memindahkan pabrik ke Vietnam, bukan Indonesia.
"Kita ingin pemerintah permudah perizinan, EoDB juga, agar investasi yang keluar dari China bisa mempertimbangkan Indonesia. Jadi ekspor dudah kalah tahun ini, investasi jangan kalah juga dong," pungkas Febrio.