Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas perekonomian melambat lebih dari yang diperkirakan pada Juli. Produksi industri mencatat pertumbuhan terlesunya dalam 17 tahun, sedangkan penjualan ritel merosot akibat berlanjutnya ketegangan perdagangan.
Menurut data Biro Statistik Nasional (NBS) China yang dirilis hari ini, Rabu (14/8/2019), produksi industri naik 4,8 persen pada Juli 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Raihan ini lebih rendah dari estimasi median sebesar 6 persen.
Data NBS juga menunjukkan penjualan ritel berekspansi 7,6 persen pada April, lebih kecil dari proyeksi kenaikan 8,6 persen. Adapun investasi aset tetap melambat menjadi 5,7 persen sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini, 0,1 persen lebih rendah dari perkiraan.
"Data aktivitas pada Juli menyedihkan. Ini adalah hasil dari lesunya sisi permintaan dan penawaran,” ujar Katrina Ell, ekonom dengan Moody's Analytics di Sydney, dikutip dari Bloomberg.
Kinerja ekonomi yang lemah tersebut menambah tekanan pada para pemimpin Negeri Tirai Bambu untuk meningkatkan stimulus di tengah pasang surut dalam perang perdagangan dengan Amerika Serikat.
Pemerintah AS mengancam pengenaan tarif lebih lanjut terhadap China. Meski AS kemudian mengumumkan penundaannya pada beberapa produk impor asal Tiongkok, ketidakpastian tentang kelanjutan perang perdagangan dua raksasa ekonomi ini telah membebani perekonomian.
Pekan lalu, Bank Sentral China People’s Bank of China (PBOC) menyerukan pandangan yang "rasional" atas tekanan saat ini.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa PBOC telah bermaksud untuk mengambil target pendekatan guna menopang output, sambil menahan diri dari meluncurkan stimulus moneter besar.