Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja Perdagangan Memburuk, Indonesia Perlu Insentif Ekspor

Ancaman defisit neraca perdagangan tahun ini akibat kinerja ekspor dan impor yang turun menandakan pentingnya pemerintah menginisiasi insentif bagi investor berorientasi ekspor.
Petugas dibantu alat berat memindahan kontainer dari kapal ke atas truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Selasa (17/5). JIBI/Bisnis/Dwi Prasetya
Petugas dibantu alat berat memindahan kontainer dari kapal ke atas truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Selasa (17/5). JIBI/Bisnis/Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA -- Ancaman defisit neraca perdagangan tahun ini akibat kinerja ekspor dan impor yang turun menandakan pentingnya pemerintah menginisiasi insentif bagi investor berorientasi ekspor.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri menyatakan bahwa perekonomian Indonesia kuartal II/2019 tidak mencatatkan prestasi. Sebaliknya, kinerja ekspor-impor yang buruk perlu diatasi. Misalnya dengan menambah investor dan lebih giat mendekat ke pasar.

"Masih kurang insentif untuk investor export oriented. Barang subtitusi impor banyak yang masuk. Namun hanya meningkatkan impor jenis bahan baku dan barang modal," terang Heri di Aryaduta Hotel, Rabu (7/8/2019).

Selain itu, dia juga menegaskan pentingnya peran atase perdagangan di luar negeri. Selain menjamin jalur ekspor-impor dengan negara lain, perlu juga memberikan kepastian kepada calon investor soal kekuatan produk Indonesia di pasar global.

Asal tahu saja kondisi ekonomi yang kurang memuaskan ini tercermin pada kuartal II/2019. Dimana net ekspor yang menjadi komponen pertumbuhan ekonomi makin menunjukkan penurunan.

Dia menegaskan, penurunan impor bukan kabar baik sehingga pemerintah perlu mengawasi impor bukan secara serampangan.

"Di sini semua impor turun dari jenis barang, bahan baku, barang konsumsi dan barang modal," paparnya.

Heri menegaskan bahwa kondisi itu mencerminkan ada indikasi ekonomi mengalami kontraksi. Alhasil permintaan konsumen terhadap barang konsumsi turun, industri terhadap barang modal dan bahan baku turun.

Imbasnya, kata Heri, impor barang konsumsi yang turun membuktikan kontraksi. Pelaku usaha lantas mengurangi input material untuk menghasilkan suatu output. Kondisi ini tercermin dari industri yang juga melambat.

"Defisit sampai Juni US$1,93 miliar. Memang pada 2018 sampai 8 milar lebih sampai sekarang masih defisit. Terlepas dari perang dagang, kondisi fundamental sektor riil belum baik," ujarnya.

Heri menjelaskan bahwa sumber defisit terbesar berasal dari rekan dagang Indonesia yakni China.

"Pada kuartal I, capai US$5,18 miliar, 29% barang impor berasal dari sana. Ekpsor kita ke sana turun, ke AS turun. Impor dari AS juga turun. Meski demikian impor kita dari Cina naik 0,3%," pungkasnya.

Heri menyatakan untuk memperbaiki neraca perdagangan ke depan, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pasar. Dengan market size yang besar tanpa stimulus maka investasi sulit didapatkan.

Saat ini masih kurang insentif untuk investor berorientasi ekspor. Heri menambahkan bahwa orientasi ekspor Indonesia juga masih saja dibanjiri barang impor substitusi, barang bahan baku, dan barang modal.

"Untuk bahan baku industri kita butuh dari dalam negeri agar bisa memanfaatkan sumber daya alam sendiri," terang Heri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper