Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha mendukung percepatan penyelesaian perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengatakan, pakta kerja sama ekonomi komprehensif tersebut penyelesaiannya telah molor terlalu jauh dari target awal, yakni pada 2015.
Namun, dia juga meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam menentukan perjanjian yang akan dijalin dalam RCEP tersebut, terutama dalam hal investasi. Terlebih, lanjutnya, pakta kerja sama tersebut diikuti oleh banyak negara.
“Memang kita butuh penyelesaian RCEP. Paling tidak tahun ini konklusi didapatkan dan tahun depan sudah penandatanganan atau masuk proses ratifikasi. Namun kita juga harus berhati-hati dalam tiap kesepakatan yang ada. Supaya kita tidak menjadi korban dari liberalisasi perdagangan dan investasi,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (4/8/2019).
Dia melanjutkan, besarnya potensi keuntungan yang diperoleh dari sektor perdagangan dan investasi RCEP, sebanding dengan risiko yang berpotensi diperoleh RI dari pakta tersebut.
Untuk itu, poin-poin kesepakatan, terutama dalam penyelesaian sengketa investasi harus diperoleh terlebih dahulu.
“Saya khawatir, ketika RCEP diimplementasikan, pembahasan mengenai kesepakatan ISDS masih terus molor. Akhirnya ketika di tengah-tengah pembahasan itu ada sengketa, kita kerepotan dalam menyelesaikannya,” paparnya.
Terpisah, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mendukung upaya pemerintah RI dalam mendorong pembahasan mengenai sengketa investasi antara swasta dan pemerintah (Investor State Dispute Settlement/ISDS) dilakukan sembari RCEP diimplementasikan oleh negara anggota.
Dia menilai, pemerintah RI dan negara anggota RCEP lainnya harus mendahulukan penyelesaian kesepakatan yang lebih mudah untuk diperoleh sebelum membahas persoalan lain yang lebih sensitif.
“RCEP memang harus menjadi prioritas untuk dikejar dan dikonkritkan pelaksanaannya, mengingat pakta kerja sama ini adalah salah satu obat penawar di tengah arus deglobalisasi,” katanya.
Dia sepakat, pemerintah negara anggota RCEP harus segera menyelesaikan skema kerja sama secara umum terlebih dahulu. Sementara itu, untuk detail-detail kesepakatan lainnya, bisa diperoleh sembari RCEP dijalankan.
Menurut Fithra, sengketa mengenai perdagangan dan investasi antara pelaku usaha dan pemerintah masih dapst diselesaikan melalui International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) maupun Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO).
Adapun, Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita mengatakan, terdapat sejumlah isu sensitif yang masih mengiringi proses penyelesaian negosiasi RCEP. Isu tersebut a.l mengenai kebijakan most favoured nation (MFN), provisi tentang mekanisme sengketa antara investor dan pemerintah (ISDS) dan beberapa provisi di bidang dagang-el.
Dia mengatakan para menteri negara anggota telah menyepakati langkah-langkah penyelesaian maupun tindaklanjut terkait sejumlah isu sensitif tersebut.
“Para menteri sepakat, isu-isu sensitif itu akan menghambat penyelesaian negosiasi RCEP. Oleh karenanya, pembahasan dan penyelesaian provisi ISDS dalam Bab Investasi akan dilakukan setelah Perjanjian ini mulai diimplementasikan secara efektif,” ungkap Enggar.
Dia melanjutkan, dengan disepakatinya langkah-langkah tindaklanjut tersebut, tim perunding RCEP diharapkan dapat menyelesaikan perundingan terkait dengan akses pasar dan teks perjanjian di seluruh bidang perundingan dalam waktu dekat. Dia mengharapkan hasil kesepakatan itu dapat diumumkan pada KTT RCEP ke-3 pada November 2019.
Percepatan penyelesaian perundingan tersebut, menurutnya, perlu dilakukan agar pakta kerja sama ekonomi komprehensif tersebut dapat ditandatangani pada 2020.
Dia menilai RCEP memiliki potensi yang besar untuk diimplemetasikan untuk mengurangi tekanan pada perdagangan dunia lantaran RCEP merupakan pakta regional terbesar dunia. Pakta tersebut mencakup 47,4% populasi dunia, 32,2% ekonomi global, 29,1% perdagangan global dan 32,5% arus investasi global.
RCEP diikuti oleh negara anggota Asean dan enam negara lain yakni Australia, India, Jepang, Korea Selaran, China dan Selandia Baru.