Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia diminta berhati-hati dalam mendorong pengimplementasian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebelum perjanjian mengenai sengketa investasi swasta dan pemerintah antarnegara anggota disepakati.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, Pemerintah RI tidak perlu terburu-buru menyelesaikan perundingan RCEP, di tengah masih alotnya pembahasan mengenai perjanjian penyelesaian sengketa investasi antara swasta dan pemerintah (Investor State Dispute Settlement/ISDS).
Pasalnya, sebut Hariyadi, tanpa ada perjanjian mengenai hal tersebut, berpotensi menimbulkan risiko bagi arus investasi di Indonesia.
“RCEP ini perjanjian internasional yang memasukkan aspek kerja sama investasi, selain liberalisasi perdagangan antarnegara anggota. Bagaimana bisa arus atau iklim investasi akan berjalan dengan baik kalau perjanjian penting di sektor tersebut justru dibahas setelah RCEP diimplementasikan,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis.com, Minggu (4/8/2019).
Dia mengatakan, salah satu risiko tersebut berpeluang muncul dari investasi di sektor dagang elektronik dan pertambangan.
Terlebih, dengan ikut sertanya China di RCEP, dia khawatir derasnya investasi di sektor dagang-el tidak dapat diimbangi oleh adanya payung hukum yang jelas dalam hal penyelesaian sengketa di sektor tersebut.
“Apalagi kita masih belum segera menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) e-commerce. Akibatnya kita belum punya ‘pegangan’ yang pasti untuk mengatur arus investasi di sektor tersebut,” katanya.
Selain itu, dia juga khawatir, kejadian gugatan Churchil Mingin dan Planet Mining kepada Pemerintah RI akan kembali terjadi. Sebab, situasi serupa acap kali dihadapi oleh pemerintah negara berkembang ketika mendapatkan investasi dan akhirnya berkonflik dengan perusahaan besar dari negara maju.
Untuk itu dia meminta pemerintah RI berhati-hati dalam mengusulkan kebijakan penundaan pembahasan mengenai ISDS dalam perundingan RCEP.
Dia mengakui, di tengah melambatnya perdagangan global, Indonesia membutuhkan perjanjian dagang yang baru untuk membantu mendongkrak kinerja dagangnya.
“Namun, prinsip kehati-hatian dalam melakukan perundingan, terutama dalam hal kesepakatan-kesepakatan hukum antarnegara, harus dijunjung tinggi. Tidak perlu terburu-buru menyelesaikan RCEP kalau risikonya besar,” tegasnya.