Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan Loan to Value (LTV) mulai diterapkan di Indonesia sejak 2012. Antisipasi risiko pada sektor properti menjadi fokus perhatian pemerintah seperti yang tertuang dalam kebijakan makroprudensial. Beberapa kejadian luar biasa di berbagai negara juga menjadi pertimbangan adanya kebijakan tersebut. Salah satu kejadian yang fenomenal terjadi di AS yaitu subprime mortgage dengan kerugian sebesar US$945 miliar (IMF, 2008) atau setara Rp8.700 triliun.
Secara umum properti mempunyai 3 siklus utama, yaitu Boom Market, Recession, dan Recovery. Pertumbuhan properti di Indonesia cukup mengkhawatirkan sejak 2010. Pertumbuhan properti tersebut diperkirakan booming pada 2012-2013.
Kemudahan masyarakat dalam membeli properti terutama perumahan dengan KPR turut mempercepat pertumbuhan permintaan properti saat itu. Kekhawatiran pemerintah adalah pertumbuhan harga yang diluar kendali bisa memicu bubble price.
Pembelian rumah dalam siklus hidup manusia merupakan salah satu pembelian yang paling besar. Hal ini yang menyebabkan perilaku pembelian melalui kredit. Pembelian perumahan melalui kredit KPR di Indonesia lebih dari 75%.
Karakteristik yang paling unik di sektor properti adalah faktor lokasi, karena dapat mempengaruhi permintaan dan harga. Hal itu disebabkan dualisme permintaan properti, terutama perumahan, yaitu untuk konsumsi dan investasi. Disparitas harga properti antar wilayah menjadi isu penting bagi para investor properti maupun masyarakat. Sebagai contoh, para investor ibukota, baik secara korporat atau individu, banyak melakukan investasi properti di daerah. Hal ini, selain lahan yang semakin terbatas, juga berkaitan dengan harga tanah yang jauh lebih murah.
Ibarat pengemudi, Bank Indonesia bertugas menginjak rem dan gas dengan kombinasi tertentu, sehingga kendaraan bisa berjalan dengan baik. Kebijakan LTV yang pertama (2012) menjadi catatan kekhawatiran pemerintah yang besar terhadap ancaman bubble price pada properti. Namun, kebijakan itu ternyata terlalu pakem, karena membatasi LTV sebesar 70% untuk semua tipe perumahan.
Kebijakan pengetatan mendapatkan banyak reaksi, sehingga menurunkan daya beli yang berdampak pada permintaan properti. Para pengembang properti pun mengeluhkan penjualan yang kian terbatas.
Kebijakan LTV ke-2 (2014) cukup memperhatikan kondisi yang ada, karena sudah memperhatikan karakteristik dan kondisi masyarakat. Kebijakan LTV ke-2 sudah membedakan batasan LTV berdasarkan tipe rumah dan tipe pembelian. Namun masih dalam rangka pengetatan kredit properti.
Lambatnya pertumbuhan properti dan lesunya ekonomi mengubah kebijakan pemerintah melalui kebijakan LTV ke-3 (2015) dan ke-4 (2016). Dalam kebijakan tersebut pemerintah cenderung melakukan relaksasi dengan maksimal LTV 90% untuk rumah pertama dengan tipe dibawah 70 dan skema yang lebih kecil untuk tipe dan pembelian yang berbeda.
Karakteristik pasar properti yang berbeda-beda di daerah menjadikan harga dan momentum pasar berbeda pula. Kebijakan LTV dari BI bersifat menyeluruh diberlakukan di Indonesia. Padahal belum tentu pada suatu kondisi tertentu daerah diluar Jawa perlu direm pasar propertinya. Artinya, perlu instrumen khusus untuk bisa menjadikan kebijakan tersebut tepat pada sasaran tertentu.
Lalu apa yang dibutuhkan pemerintah untuk mengakomodasi variasi kondisi pada masing-masing daerah? LTV Spasial muncul di tahun-tahun terakhir dengan berbagai sudut pandang. Pada intinya sebuah kebijakan yang menarik tetapi dengan banyak catatan.
Perlu diketahui, masalah yang paling utama pada pasar properti adalah asymmetric information. Keterbatasan masyarakat untuk mendapatkan informasi harga transaksi properti sangat besar. Bahkan tidak ada lembaga yang secara legal memberikan informasi harga properti secara jelas. Akhirnya spekulasi investor maupun masyarakat menjadi hal yang umum dilakukan.
Sektor properti digadang-gadang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir ini. Beberapa kebijakan relaksasi sudah dilakukan BI untuk akselerasi pertumbuhan sektor tersebut. Namun, beberapa faktor penyebab belum memberikan momentum untuk tumbuh secara cepat.
Karakteristik daerah yang berbeda-beda memerlukan treatment kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan. Faktor spasial di Indonesia menjadi hal yang penting, mengingat kondisi wilayah yang luas dan terdiri dari banyak kepulauan.
Pemerintah mungkin lebih mudah untuk melihat kondisi daerah melalui penyaluran kredit. Seberapa besar penyaluran kredit properti, jangka waktu kredit dan kredit bermasalah dapat menjadi proxy permintaan properti di setiap daerah.
Namun indikator di atas lebih kepada akibat adanya suatu kondisi di daerah, yang kemudian berpengaruh ke permintaan kredit. Indikator daerah secara fundamental perlu diperhatikan untuk membedakan kondisi dan arah kebijakan LTV tersebut. Produk domestik regional bruto (PDRB) sektoral menjadi salah satu indikator perkembangan ekonomi di daerah secara umum. Daya beli di daerah juga bisa menunjukkan kondisi pasar perumahan.
Beberapa variabel teknis yang perlu diperhatikan di daerah sebagai indikator kondisi daerah antara lain data backlog kepemilikan rumah, harga/indeks harga perumahan, pendapatan masyarakat dibandingkan dengan harga properti per meter, inflasi bahan material, PDRB dan arah perkembangan daerah.
Kebijakan spasial tersebut menjadi penting dengan adanya kondisi yang berbeda-beda di daerah. Sebagai contoh, berdasarkan data Indeks Harga Properti Residensial BI (2018) telihat perbedaan indeks harga dari berbagai daerah di Indonesia yang mencolok.
Indeks yang paling tinggi secara total di periode IV-2018 adalah Makassar dengan besaran indeks 327. Besarnya indeks ini disumbang oleh indeks harga yang tinggi pada rumah tipe kecil yaitu 461. Hal yang berbeda terjadi di wilayah Denpasar dimana pada periode IV-2018 indeks harga secara total sebesar 185.
Cepat dan lambatnya perkembangan properti tersebut menjadi alasan untuk membedakan treatment kebijakan, baik relaksasi dan pengetatan secara spasial. Dukungan data statistik daerah yang akurat menjadi kunci keberhasilan kebijakan LTV ini.
Dalam tataran pelaksanaan, kebijakan LTV Spasial ini secara teknis nanti dibagi beberapa kelompok daerah yang mempunyai kondisi yang sama. Klastering tersebut akan digunakan untuk dasar kebijakan terkait sesuai dengan tujuan utama pada daerah tersebut, baik itu pengetatan maupun relaksasi.
Adanya kebijakan LTV Spasial diharapkan menjadi kombinasi kebijakan moneter yang mendukung pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Dukungan daerah dalam menyediakan data yang akurat menjadi critical point pada kebijakan ini. Tidak hanya data existing tetapi juga proyeksi kedepan mengingat dampak kebijakan LTV mempunyai time lag. Semoga.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (29/7/2019)