Bisnis.com, JAKARTA -- Varietas kedelai yang dikembangkan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) lebih sulit bersaing di pasar dibandingkan dengan varietas padi.
"Kami sudah menghasilkan sebanyak 45 varietas padi, kedelai, maupun kacang hijau. Sudah kami sebar ke masyarakat, tapi kami merasa belum cukup puas," ujar Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan saat peluncuran varietas kedelai lahan kering Kemuning 1 dan 2, Rabu (17/7/2019).
Dia mengatakan kedelai hasil pengembangan Batan harus bersaing dengan kedelai impor. Pasalnya, harga kedelai impor lebih murah dibandingkan dengan hasil tanaman sendiri.
Adapun varietas padi lebih mudah diterima masyarakat. "Padahal kualitas kedelai kita bagus," katanya.
Ke depan, Batan akan mengembangkan teknologi pascapanen dengan menggunakan iradiator gama agar hasil panen lebih steril dari mikroba. Dengan demikian, hasil panen tidak terbuang percuma.
Dia mengungkapkan sejumlah negara seperti Vietnam telah memiliki delapan iradiator gama dan buah-buahan yang dihasilkan telah diekspor ke Australia.
Indonesia sendiri baru memiliki dua iradiator gama. Ke depan, Anhar berharap bisa memiliki lebih banyak iradiator gama sehingga Indonesia bisa mengekspor hasil taninya.
Adapun varietas Kemuning yang baru diluncurkan Batan tahan di lahan kering dan diharapkan dapat menjadi bagian solusi untuk meningkatkan produksi kedelai lokal dan mengurangi ketergantungan kedelai impor.
Nama Kemuning berasal dari singkatan kedelai mutan tahan kering sebagai varietas kedelai hasil dari perbaikan varietas Panderman dengan memanfaatkan teknik mutasi radiasi.
Teknologi tersebut membuat ukuran biji kedelai menjadi lebih besar sehingga diharapkan dapat bersaing dengan kedelai impor. Kedelai Kemuning 1 dan Kemuning 2 juga diklaim menghasilkan tempe yang lebih gurih dibandingkan dengan kedelai impor.
Selain tahan terhadap lahan kering, keunggulan lain varietas Kemuning adalah produktivitas yang tinggi, yakni 2,87 ton untuk tiap hektare (ha) untuk Kemuning 1 dan 2,92 ton per ha untuk Kemuning 2.