Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memberikan tenggat 5—7 tahun kepada pelaku usaha untuk menerapkan aturan jaminan produk halal (JPH), sejak ketentuan itu diberlakukan pada 17 Oktober 2019.
Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso, mengatakan kebijakan pemberian tenggat waktu itu diberlakukan untuk proses pendaftaran sertifikasi halal.
Sementara itu, ketentuan lain seperti yang terkait dengan kewajiban pemberian tanda khusus untuk produk nonhalal, serta pemisahan penempatan antara produk halal dan nonhalal saat proses penjualan, akan diterapkan pascapelaksanaan kewajiban sertifikasi halal tersebut.
“Untuk produk makanan dan minuman diberikan waktu untuk mendaftar selama lima tahun sejak Undang-Undang No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal berlaku pada 17 Oktober mendatang. Sementara untuk farmasi dan kosmetika diberikan waktu sampai tujuh tahun,” jelasnya, Selasa (9/7/2019).
Dia melanjutkan, terkait dengan kewajiban pemberian tanda khusus terhadap produk nonhalal dan pemisahan penempatan produk halal dan non halal di gerai atau toko, dapat dilakukan secepat mungkin setelah UU JPH diberlakukan.
Saat ini, menurutnya, BPJPH dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) sedang menyusun aturan turunan untuk melakukan harmonisasi aturan terhadap dua ketentuan tersebut.
“Seharusnya untuk penandaan produk nonhalal tidak perlu menjadi masalah untuk diberlakukan secepatnya, karena ketentuan itu sudah tertuang di UU tentang JPH pasal 26. Lagi pula produk nonhalal tidak perlu proses yang panjang untuk mendapatkan sertifikat seperti produk yang halal,” jelasnya.
Sementara itu, terkait dengan pemisahan penempatan antara produk halal dan nonhalal, menurutnya sudah sejak lama diatur oleh BSN dalam ketentuan Standar Nasional Indonesia mengenai Sistem Manajemen Halal yang diterbitkan pada 2016.
Ketentuan tersebut, lanjutnya juga sudah diatur Peraturan Pemerintah No.31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yangtelah di undangkan pada 3 Mei 2019.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, pemerintah harus memperjelas ketentuan mengenai tenggat waktu pendaftaran sertifikasi produk halal. Dia meminta agar produk yang belum sempat melakukan pendaftaran selama tenggat waktu tersebut tidak dimasukkan dalam kategori produk tidak halal.
“Kami menolak jika produk yang belum mendapatkan sertifikat halal secara otomatis masuk kategori produk nonhalal, sehingga ketika didisplay di toko atau pasar, harus tergabung dengan produk yang murni tidak halal,” jelasnya kepada Bisnis.com.
Hal tersebut, lanjutnya, dapat membuat produk-produk yang belum mendapatkan sertifikat halal menjadi terganggu penjualannya lantaran dinilai tidak halal. Adapun, terkait dengan pemberian tanda khusus terhadap produk berbahan baku tidak halal, para produsen sudah mulai memberikan tanda khusus di kemasannya sejak beberapa tahun terakhir,
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto justru kaget produk farmasi masih dimasukkan dalam produk yang harus mendapatkan sertifikasi halal.
“Mohon pemerintah memahami industri farmasi seperti apa, kami ini mayoritas bahan bakunya diimpor. Sulit untuk menentukan mana saja bahan baku yang halal dan tidak. Sebab, sering kali, kami impor bahan baku dari India, tetapi produsen bahan baku dari India juga mengimpor campuran bahan baku tersebut dari China. Sulit untuk memastikan halal atau tidaknya,” jelasnya kepada Bisnis.com.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin mengatakan, para peritel siap untuk menjalankan ketentuan pemisahan antara produk halal dan nonhalal saat menjual kepada konsumen.
“Namun, kami juga butuh aturan atau daftar barang mana saja yang memang harus dipisahkan dan diberikan treatment khusus. Contoh saja makanan daerah seperti tape, yang mengandung ragi. Apakah itu masuk di kewajiban wajib sertifikasi halal atau tidak? Dan kalau tidak, mereka masuk di kategori apa halal atau tidak?” ujarnya kepada Bisnis.com.