Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan Bank Indonesia (BI) merelaksasi giro wajib minimum 6,5 persen menjadi 6 persen mulai 1 Juli belum optimal tanpa penyerapan belanja fiskal untuk pembiayaan infrastruktur dan penurunan suku bunga.
Head of Economic & Research UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja menyatakan kebijakan yang dicetuskan oleh BI menjadi upaya pemerintah untuk memastikan kinerja aliran dana perbankan membiayai kegiatan sektor riil.
Meski demikian, penurunan giro wajib minimum (GMW) tersebut hanya 50 basis poin (bps) yang mana ekuivalen dengan Rp28 triliun sampai Rp29 triliun. Enrico berpendapat secara nominal sirkulasi kredit tersebut bukanlah angka yang fantastis.
“Jadi belum tentu sektor finansial perbankan akan mengucurkan otomatis karena mereka akan melihat prospeknya di sektor mana. Apalagi yang bisa menerima kredit tanpa GWM relaksasi itu sudah ada asesmen masing-masing,” terang Enrico kepada Bisnis.com, Kamis (4/7/2019).
Dia menyatakan, relaksasi GMW berpeluang untuk menumbuhkan sektor kredit. Menurut dia ini adalah kebijakan yang baik BI untuk menaikkan kredit. Namun dengan kondisi ekonomi nasional dan global yang masih melambat dengan ketidakpastian, pengucuran kredit perlu dibarengi dengan target sektor yang tepat sasaran.
“GMW ini pasti kredit naik tapi year to date itu masih minim perkembangannya karena dipengaruhi prospek ekonomi,” ujar Enrico.
Selain itu, penurunan suku bunga menjadi salah satu langkah strategis tambahan yang bisa diambil BI untuk memperkuat likuiditas perbankan. Menurut Enrico, saat ini posisi inflasi dan current deficit tidak terlalu buruk sehingga cukup kondusif bagi BI menurunkan suku bunga.