Bisnis.com, JAKARTA—Impor barang dan jasa terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berpotensi menjadi beban berat bagi transaksi berjalan ke depannya.
Data yang dikumpulkan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menunjukkan impor barang komoditas mesin dan peralatan elektronik (HS85) pada tahun lalu mencapai US$21,45 miliar atau setara 11,37% dari total impor.
Nilai tersebut impor komoditas mesin dan peralatan elektronik menempati posisi ketiga komponen impor terbesar, setelah bahan bakar mineral dan reaktor nuklir dan permesinan.
Selain itu, komponen impor terbesar juga berasal dari besi dan baja serta turunannya, plastik dan turunannya, kimia organik dan serealia. Untuk komponen impor barang barang berbasis informasi dan teknologi (H585), terutama komoditas perangkat telepon, telepon seluler, transmisi dan lain-lain dengan kode HS8517, memiliki proporsi dan pertumbuhan impor yang terus meningkat sejak 2014.
Pada 2018, perangkat telepon (H58517) memiliki proporsi sebesar 27,1% terhadap HS85 dan tumbuh sebesar 20,9 persen (year on year/yoy). Sementara, perangkat dan komponen telepon (HS851770) memiliki proporsi sebesar 71,8% terhadap HS8517 dan tumbuh sebesar 18,7% (yoy) pada periode yang sama. Impor barang ini belum ditambah oleh impor jasa dari sektor TIK.
Dari data yang dikumpulkan KEIN, defisit jasa TIK mencapai US$339 juta, atau berada di posisi ketiga setelah transportasi US$1,86 miliar dan biaya hak pengunaan kekayaan intelektual US$397 juta.
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta menilai tingginya impor tersebut Tingginya impor di sektor tersebut, baik barang dan jasa, tentunya memunculkan kekhawatiran mengingat teknologi sudah menjelma menjadi kebutuhan dasar. Dengan demikian, permintaan di sektor tersebut diyakini akan semakin meningkat ke depannya.
"Pesannya adalah kalau kita ingin memperbaiki current account, maka aspek neraca jasa, telekomunikasi, dan HAKI harus jadi perhatian kita," tegas Arif dalam diskusi KEIN, Kamis (27/06/2019).
Menurut KEIN, strategi untuk mengatasi masalah ini lebih difokuskan ke jangka menengah dan panjang. Satu-satunya, strategi jangka pendek yang bisa dimanfaatkan adalah pengaturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
Untuk itu, KEIN merekomendasikan agar Indonesia mulai membangun industri TIK dalam negeri, seperti yang sudah dilakukan oleh Vietnam. Pemerintah Vietnam mengodok kebijakan dalam berinvestasi yang diatur dalam Vietnamese Investment Law of 1992.
Aturan ini menyebutkan bahwa perusahaan asing diizinkan menyediakan layanan ke pasar telekomunikasi Vietnam melalui skema kontrak kerjasama bisnis (Business Cooperation Contract) bersama-sama dengan perusahaan dalam negeri.
BCC adalah perjanjian kerjasama bisnis dimana mitra asing harus menyediakan teknologi dan infrastruktur TIK serta memberikan pelatihan yang dibutuhkan oleh perusahaan operator dalam negeri. Kerjasama ini memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan transfer pengetahuan yang tentunya diperlukan oleh perusahaan operator dalam negeri.
Langkah lainnya, Vietnam mendorong investasi asing di bidang instalasi infrastruktur telekomunikasi untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan teknologi di bidang TIK yang belum dimiliki oleh Vietnam.
Salah satu langkah yang dilakukan Vietnam adalah dengan memberikan beragam insentif pajak. Vietnam juga membangun jalur telekomunikasi tambahan (telecom lines) untuk menjami semua provinsi terhubung secara digital dengan kota-kota besar seperti Hanoi, Da Nang, dan Ho Chi Minh, dengan kabel serat optik atau jaringan relay radio gelombang mikro.
Strategi pemerintah ini berhasil meningkatkan pengguna telepon seluler, dan pada 2012, telah mencapai angka 134 juta pelanggan telepon seluler, menempatkan Vietnam di urutan keenam di dunia dalam hal jumlah pengguna telepon seluler.
Strategi lainnya yang bisa dijalankan Indonesia, menurut KEIN, adalah dengan mendorong penggunaan komoditas dan jasa TIK dalam negeri untuk mengurangi beban biaya penggunaan HAKI dan impor barang dan jasa TIK sehingga memperbaiki transaksi berjalan dan neraca pembayaran Indonesia secara keseluruhan.
Namun, Arif menilai Indonesia perlu memperkuat pengembangan industri dasar seperti kimia dasar dan logam dasar.
"Sejak krisis sampai sekarang industry petrokimia tidak berkembang. Sementara bicara teknologi informasi, kimia dasar dan logam dasar jadi penting, jadi harus terintegrasi," ujar Arif.
Kendala Litbang
Pengamat ekonomi sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institute Pertanian Bogor (IPB) Nunung Nuryartono menilai salah satu hambatan yang membuat industri terkait dengan TIK belum bisa berkembang pesat di Indonesia adalah masalah riset dan pengembangan.
"Research and Development (R&D) belum diberikan insentif luar biasa. Kenapa tidak didorong? sehingga software-software masih diimpor," ungkap Nunung.
Menurut Nunung, Vietnam juga memiliki impor yang tinggi. Namun, neraca perdagangan komponen dan peralatan telekomunikasinya positif. Hal ini karena Vietnam sudah bisa membuat produk akhir yang nilai tambahnya jauh lebih tinggi.
Selain langkah tersebut, dia menegaskan peta jalan pengembangan industri TIK di dalam negeri harus jelas.
"Apakah masuk ke hardware atau software-nya. Dua-duanya perlu SDM. Menurut saya, software tak kalah penting. Software-software yang akan membantu ekonomi lebih produktif sangat dibutuhkan," tegas Nunung.
Dia mencontohkan pembangunan pembangunan pusat pelatihan dari provider alat komunikasi dunia sebagai langkah yang sangat bagus karena memberikan peluang pelatihan dan pengajaran bagi SDM dalam negeri untuk mengembangan aplikasi. Namun, dia menyayangkan copy right atau hak ciptanya yang diklaim perusahaan.
"Apple Academy mendidik tiap anak buat aplikasi, tapi aplikasinya mereka ambil lagi," ujarnya.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menuturkan aplikasi permainan online turut menyumbang pelebaran di defisit neraca pembayaran dalam negeri.
Pasalnya, transaksi untuk pembelian aplikasi tersebut lari ke perusahaan di luar negeri. "Kita main game itu, kelihatan enggak di NPI? Sekarang sih enggak. Tetapi yang pasti itu, ada uang dari Indonesia yang keluar.
Memang hanya US$0,5 [per aplikasi], tapi kalau yang main [unduh] dua juta orang. Itu semua uang yang keluar," ungkap Mirza.
Sayangnya, BI belum dapat mengungkapkan data transaksi jasa terkait pembelian aplikasi game, musik dan lain sebagainya hingga saat ini.