Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat pada Januari—Mei 2019, nilai ekspor pakaian jadi bukan rajutan merupakan salah satu dari tiga sektor yang mengalami pertumbuhan secara tahunan. Pada periode tersebut, nilai ekspor pakaian jadi bukan rajutan naik tipis 1,7% menjadi US$1,9 miliar.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh permintaan global yang terus meningkat. Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan bahwa industri serat siap untuk memenuhi bahan baku dari industri hulu.
Namun demikian, asosiasi menilai hal produksi industri hulu tekstil dan produk tekstil (TPT) belum daat terserap mengingat mandeknya serapan pada industri tengah TPT.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta menyampaikan industri hulu TPT masih menyisakan tingkat utilitas untuk ekspansi. Adapun, lanjutnya, utiitas pabrik benang domestik baru mencapai 75%.
“Untuk poliyester dan rayon malah oversupply. Mala kami harus ekspor sisanya, kalau tidak bisa ekpor, pasti stop sebagian [pabrik,” paparnya kepada Bisnis, Senin (24/62019).
Redma menjelaskan bahwa tingginya impor kain jadi menyebabkan serapan benang di dalam negeri rendah. Asosiasi mencatat, industri tengah tekstil dan produk tekstil (TPT) lokal hanya mampu menyerap 50% dari total produksi industri benang.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta mengatakan tingginya volume impor kain jadi menyebabkan adanya penyempitan (bottleneck) penyerapan produksi industri benang. Alhasil, investasi pada industri hulu TPT tidak pernah tumbuh.
“Di sisi lain, China investasi besar-besaran [di industri kain jadi]. Jadi, begitu impornya dibuka, industri garmen nasional ketergantungan dengan kain impor. Sistematik masalahnya,” ujarnya kepada Bisnis.
BPS mencatat nilai impor dari China naik 29,31% secara tahunan menjadi US$18,03 miliar pada Januari—Mei 2019. Adapun, defisit neraca perdagangan terhadap China makin dalam menjadi US$8,48 miliar dari US$8,10 miliar.