Bisnis.com, JAKARTA - Yayasan Madani Berkelanjutan menilai bahwa terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10/2019 melemahkan perlindungan ekosistem gambut.
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menilai baleid tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) mengecilkan ruang lingkup ekosistem gambut yang tidak boleh lagi dieksploitasi untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
"Aturan ini memperbolehkan perusahaan sawit dan hutan tanaman industri [HTI] untuk terus mengeksploitasi ekosistem gambut dengan fungsi lindung hingga jangka waktu izin berakhir apabila lokasinya berada di luar puncak kubah gambut," katanya di Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan PP 71/2014 jo PP 57/2016 yang memandatkan ekosistem gambut dengan fungsi lindung tidak boleh lagi dieksploitasi untuk sawit dan HTI setelah satu daur tanam, baik yang berada di puncak kubah gambut maupun di luar puncak kubah gambut.
“Memberikan keringanan kepada pelaku izin usaha sawit dan HTI untuk terus melakukan usahanya di ekosistem gambut dengan fungsi lindung tanpa proses review bertentangan dengan semangat restorasi gambut untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut,” katanya.
Dia menambahkan, keterlanjuran pemberian izin di ekosistem gambut lindung seharusnya dikoreksi, bukan justru dibiarkan hingga izin berakhir. "Ini bahaya karena jangka waktu izin konsesi sangat lama sementara ekosistem gambut dapat rusak dalam waktu singkat," ujar Teguh.
Baca Juga
Data Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menyebutkan 23,96 juta hektare ekosistem gambut atau 99,2 persen berada dalam kondisi rusak.
Studi Bappenas pada 2015 juga menyebutkan kebakaran gambut menyumbang 23 persen dari total emisi Indonesia pada 2010, melepas 0,8 sampai 1,1 GtCO2e atau setara dua kali lipat emisi sektor energi di tahun yang sama.