Bisnis.com, JAKARTA--PT Insera Sena, produsen sepeda merek Polygon, memiliki beberapa strategi untuk bertahan di tengah maraknya impor sepeda asal China yang masuk ke pasar domestik.
Dari data yang dihimpun dari UN Comtrade, impor sepeda mengalami kenaikan signifikan. Pada 2016, impor tercatat senilai US$13,81 juta dan naik 128,31% atau lebih dari 2 kali lipat menjadi US$31,53 juta setahun setelahnya. Pada tahun lalu, impor melonjak semakin tinggi menjadi US$91,57 juta atau naik 189,47%
William Gozali, Direktur Polygon Bikes, menuturkan agar bisa bertahan dan merebut pasar domestik dari produk impor, pihaknya melakukan beberapa strategi.
"Langkah-langkah yang kami lakukan antara lain peningkatan pelayanan dan informasi ke konsumen, pengingkatan variasi produk, efisiensi produksi, serta penataan dan peningkatan pelayanan jalur distribusi," ujarnya Selasa (21/5/2019).
Dia menyatakan secara bisnis pihaknya harus siap bersaing dengan bea masuk sepeda dari China yang semakin rendah. Sebelum berlakunya perjanjian dagang antara Asean--China, bea masuk impor sepeda sebesar 10%, tetapi setelah perjanjian dagang tersebut berlaku mulai tahun lalu, bea masuk menjadi 5%.
Menurutnya, yang menjadi masalah adalah impor undervalue melalui pelabuhan tertentu yang kemudian dijual di pasar dalam negeri tanpa pajak pertambahan nilai (PPn). "Persaingan ini sangat tidak fair dan akan merusak industri nasional. Beberapa kategori sepeda kami terganggu oleh impor seperti ini," ujarnya.
Oleh karena itu, dia berharap terciptanya fair play dalam persaingan di dalam negeri. Dia pun juga meminta agar para importir mengimpor dan berbisnis dengan benar.
Sebelumnya, Rudiyono, Ketua Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI) menyatakan maraknya impor sepeda dari China menyebabkan situasi dalam negeri tidak kondusif untuk pengembangan industri. Produsen pun mempertimbangkan untuk banting setir menjadi importir.
Dengan bea masuk sebesar 5%, produsen sepeda dalam negeri kesulitan bersaing dengan produk sepeda asal China karena harus memperhitungkan biaya tenaga kerja, risiko investasi, dan biaya lainnya. Bahkan, dengan tarif impor bahan baku 0%, industri dalam negeri masih belum mampu menandingi harga produk impor yang lebih murah.
“Kami [para produsen] berdiskusi, secara logika bagaimana selisih 5% bisa melawan impor. Produsen mempertimbangkan mendingan impor karena tidak perlu memikirkan biaya macam-macam,” ujarnya.