Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku bisnis pariwista harus mengambil peran aktif dalam antisipasi dan penanggulangan bencana demi mewujudkan industri pariwisata yang berkelanjutan.
Industri pariwisata diakui memberikan total nilai devisa nasional hingga Rp190 triliun pada tahun lalu. Jumlah ini menempatkan pariwisata pada posisi kedua setelah penerimaan devisa hasil ekspor kelapa sawit, yang mencapai Rp 239 triliun.
Namun demikian, industri yang mungkin terimbas peristiwa alam itu masih dapat terus dikembangkan mengingat keindahan wilayah nusantara yang luar biasa.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan bahwa pariwisata ini merupakan lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional.
Indonesia juga kawasan rawan terhadap potensi bahaya karena memiliki 500 gunung api, dengan 127 di antaranya merupakan gunung api aktif. Belum lagi, siklus gempa yang memiliki periode berbeda tetapi tidak dapat diprediksi secara tepat waktu kejadiannya seperti yang pernah terjadi di Aceh, Jakarta, serta Palu.
"Yang ada patahan ini daerah-daerah yang indah. Suka tidak suka, senang tidak senang, ini wajah wilayah kita," ujarnya dalam siaran pers, Senin (6/5).
Baca Juga
Dunia pariwisata harus memahami penanggulangan bencana seperti tren bencana yang meningkat. Ini bisa dijadikan refleksi untuk pengelolaan pariwisata untuk beradaptasi dengan perubahan ini. Menyinggung potensi ancaman bahaya di wilayah nusantara, Doni berpendapat bahwa peristiwa alam diharapkan tidak mengganggu sektor pariwisata.
Dengan kondisi tersebut, BNPB mengharapkan para pelaku industri pariwisata untuk menekankan perlunya upaya-upaya seperti pencegahan dan mitigasi. "Kenali ancamannya, siapkan strateginya. Siap untuk selamat," katanya.
Data BNPB menyatakan, pada Januari hingga April 2019, ada 1.586 bencana yang terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut menelan korban jiwa dan hilang sebanyak 438 orang. Sejumlah kejadian tersebut, 98% merupakan bencana hidro-meteorologi seperti banjir, longsor, dan puting beliung.
Doni menyampaikan bahwa pelaku pariwisata memiliki peran penting dalam penanggulangan bencana. Melalui upaya prabencana, pengelola pariwisata dapat memberikan informasi kepada wisatawan atau pun melatih kesiapsiagaan para pekerjanya.
Para pelaku pariwisata perlu untuk melakukan upaya mitigasi vegetasi terhadap hotel atau penginapan di dekat kawasan pantai, seperti penanaman pohon yang berfungsi mengurangi dampak tsunami.
Menurut data yang dihimpun BNPB, bencana merupakan capital shock yang menggerus jumlah modal dan nilai modal fisik secara signifikan. Tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu menyebabkan kerugian hingga ratusan milyar.
Bencana tersebut juga menyebabkan efek domino seperti pembatalan kunjungan wisatawan hingga 10%. Sebelum terjadi tsunami, tingkat hunian hotel dan penginapan di kawasan wisata Anyer, Carita, dan Tanjung Lesung mencapai 80%—90%.