Bisnis.com, JAKARTA -- Saat ini, kemacetan di Jabodetabek menjadi permasalahan yang dianggap genting dan mendesak. Namun, problem tersebut tidak kunjung mendapatkan solusi konkret karena ada hambatan lintas kewenangan dan regulasi.
Ahli Hukum Tata Negara dan dosen Universitas Tarumanagara Jakarta Ahmad Redi menyampaikan regulasi transportasi di Indonesia sudah cukup lengkap. Peraturan itu mencakup kewenangan Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sampai dengan pemerintah daerah.
Bahkan, untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) memiliki payung hukum sendiri yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.103/2015 tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan Perpres No.55/2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
Sayangnya, koordinasi antarlembaga masih sulit dilakukan sehingga tata kelola transportasi Jabodetabek terhambat. Oleh karena itu, diperlukan landasan hukum yang lebih tinggi dari sekedar Perpres guna memperkuat BPTJ.
“Setiap Undang-Undang dan Perpres soal transportasi memberikan kewenangan yang besar kepada lembaga-lembaga terkait. Berbagai macam regulasi ini hanya bisa dikoreksi melalui Perppu [peraturan pemerintah pengganti undang-undang], sekaligus memperkuat kelembagaan satu badan khusus yang mengelola transportasi Jabodetabek,” paparnya dalam diskusi panel Menyoal Masa Depan Sistem Transportasi Jabodetabek yang digelar Bisnis di Jakarta, Kamis (2/5).
Masalah transportasi Jabodetabek sudah mencapai tahap genting dan serius, sehingga perlu ada langkah taktis melalui Perppu penguatan BPTJ. Pengelolaannya pun tidak bisa disamakan dengan kota besar lainnya karena tingkat kompleksitasnya lebih tinggi.
Dia menilai kewenangan BPTJ harus ditingkatkan dari sekadar pejabat setingkat eselon I menjadi lembaga pemerintahan non kementerian (LPNK) yang berkedudukan di bawah Presiden.
LPNK itu bertanggung Jawab kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikan. Modelnya seperti seperti Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).
Namun, penerbitan Perppu membutuhkan komitmen politik yang luar biasa, karena ada porsi kewenangan lembaga terkait yang terpangkas. Ego sektoral inilah yang kerap menjadi penghambat pembenahan transportasi Jabodetabek.
Ahmad menilai masalah transportasi Jabodetabek menjadi problem yang genting karena menyangkut dampak besar pada perekonomian nasional, lingkungan hidup, kesehatan, dan ketentraman masyarakat.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian akibat kemacetan di ibu kota mencapai Rp67 triliun per tahun. Angka kerugian itu bisa membengkak lagi jika memasukkan perhitungan kota di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Bodetabek).
Wakil Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengkhawatirkan problem transportasi di Jabodetabek.
Saat ini, katanya, jumlah penduduk Jakarta pada 2014 sebanyak 10,8 juta orang dan terdapat 66 juta perjalanan dengan 27% atau 17,8 juta menggunakan angkutan umum.
“Pertumbuhan jumlah kendaraan dalam 5 tahun terakhir rata-tata 9,93% per tahun. Sepeda motor menjadi kontributor pertumbuhan tertinggi populasi kendaraan di Jakarta, yaitu 10,54%, disusul mobil penumpang 8,75%, mobil barang 4,46%, sementera untuk kendaraan bus hanya tumbuh 2.13%.”
Dia menilai perlu ada langkah konkret agar mobilitas warga Jakarta menjadi lebih eflsien, baik dari segi biaya maupun waktu tempuh serta mendukung kelestarian Iingkungan hidup. Oleh karena itu, pilihannya adalah perbaikan angkutan umum massal berbasis rel sebagai tulang punggung transportasi Jabodetabek.
“[Harapannya] 60% mobilitas warga menggunakan angkutan umum pada 2030,” katanya.
Kepala BPTJ Bambang Prihartono memaparkan hasil kajian awal merekomendasikan pembentukan satu otoritas transportasi Jabodetabek yang kuat dan berada di bawah koordinasi langsung Presiden. Namun, dia menyatakan rekomendasi tersebut berakhir menjadi lembaga setingkat eselon I di bawah Kemenhub sebagai otoritas nasional pengelola transportasi.
Di Jabodetabek, menurutnya, perlu satu otoritas karena transportasi itu tidak ada batas wilayah, sementara birokrasi pemerintah ada batas wilayahnya. “Rekomendasi waktu itu bahwa di Jabodetabek perlu ada satu otoritas transportasi yang diketuai seseorang dan langsung di bawah Presiden selevel Menteri bahkan selevel Kapolri,” katanya.
Dengan perubahan otoritas menjadi di bawah Kemenhub, dia melanjutkan RITJ 2018-2029 menjadi tidak sesuai dengan tujuan awal. Oleh karena itu, perlu ada pengkajian khusus untuk dapat menerapkan otoritas yang sesuai dengan rekomendasi awal pembentukan BPTJ.
RESPONS SWASTA
Kalangan swasta menyambut baik usulan agar BPTJ secara kelembagaan dibentuk menjadi LPNK yang berkedudukan langsung di bawah Presiden.
CEO Toll Road Business Grop Astra Infra Kris Ade Sudiyono menyatakan pebisnis bisa lebih mudah dalam mengurus perizinan, dan pelaksanaan proyek jika ada otoritas atau LPNK di bawah Presiden.
“Kalau terkait otoritas, kami selaku swasta apalagi Astra tentu lebih senang yang sentralistik, karena kebijakannya bisa didiskusikan dengan single point of context,” ujarnya.
Selain itu, penguatan wewenang BPTJ menjadi setingkat menteri juga dinilai bisa memberikan kepastian atau jaminan kepada pihak swasta yang ingin ikut terlibat dalam proyek pengembangan transportasi Jabodetabek.
Semakin tinggi otoritas ditetapkan oleh pemerintah, dia menilai akan semakin aman dan lebih disukai pihak swasta dibandingkan dengan otoritas tertentu yang lebih rendah.
Kris menuturkan keterlibatan swasta dibutuhkan, karena keterbatasan anggaran pemerintah. Berdasarkan penghitungan BPTJ, total kebutuhan pendanaan untuk pengembangan transportasi Jabodetabek selama periode 2018—2024 mencapai Rp320 triliun. Adapun, pihak swasta diharapkan bisa berkontribusi sekitar 75% dari total kebutuhan pendanaan tersebut.
Selain otoritas, dia menilai perlu ada kebijakan yang baik jika pemerintah ingin melibatkan swasta dalam program pengembangan transportasi di wilayah Jabodetabek.
Namun, ada hal penting yang harus diperhatikan pemerintah sebelum melibatkan swasta, seperti pernyataan otoritatif dari pemerintah, tata kelola yang baik, hingga model bisnis yang jelas.
“Harus ada penegasan di awal yang disebut keputusan politik pemerintah. Tanpa adanya hal itu, maka swasta akan enggan untuk masuk, karena namanya swasta pasti bicaranya soal bisnis,” ujarnya.
Kris juga mendorong otoritas yang mewakili pemerintah juga harus siap pasang badan jika sewaktu-waktu proyek yang diusulkan atau dijalankan mendapatkan reaksi penolakan dari publik atau pemerintah daerah.
Hal senada juga disampaikan Perum Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Direktur Utama Perum PPD Pande Putu Yasa meminta agar investasi angkutan kota di wilayah Jabodetabek bisa dibuat satu pintu melalui BPTJ.
Sebagai BUMN, dia juga merasa sulit berinvestasi di sektor angkutan umum karena adanya ego sektoral dari pemda.
“Investasi di angkutan kota, ini jadi harus dijadikan kebijakan satu pintu BPTJ. Di pemda, kami minta rekomedasi pengeluaran trayek masih berbelit-belit. [Oleh karena itu] perizinan satu pintu diperlukan dan ego sentrisnya wilayah perlu dihilangkan,” kata Pande.
Selama ini, investasi di transportasi umum selalu menguntungkan, baik investasi di bus Transjakarta, bus premium dan bus bandara.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan berharap kebijakan soal transportasi orang di Jabodetabek berjalan beriringan dengan penyelesaikan persoalan transportasi logistik. Jangan sampai kebijakan terhadap transportasi di jalan mengorbankan transportasi logistik.
Selama ini, truk menunjang sistem logistik kebutuhan ekspor. Bila ada gangguan pada pengangkutan barang bisa berimbas kepada perekonomian nasional.
“Sistem trucking juga menjadi indikator investasi. Kalau trucking lancar, ini tentunya menarik minat investor, terutama yang berorientasi ekspor untuk menanamkan modal di Indonesia,” kata Gemilang.