Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi) menyatakan pemerintah perlu menyosialisasikan pasal 51 dalam Peraturan Presiden nomor 82/2018 yang menyatakan bahwa pasien dapat memilih untuk menanggung sebagian biaya kesehatan yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Direktur Eksekutif GP Farmasi Dorojatun Sanusi mengatakan asosiasi ingin membahas peluang pembagian biaya kesehatan pasien tersebut dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pasal tersebut, lanjutnya, bukan merupakan paksaan melainkan anjuran yang selama ini belum dimanfaatkan.
“[Pasal tersebut] untuk pasien [yang ditanggung BPJS Kesehatan] yang ingin menikmati kualitas yang lebih baik, kami berikan peluang,” paparnya, Senin (25/3/2019).
Dorojatun menambahkan penerima bantuan iuran (BIP) BPJS Kesehatan akan tetap mendapatkan pelayanan dasar dan menerima bantuan obat dasar. Di sisi lain, pasien yang mau untuk menanggung sebagian biaya akan mendapatkan pelayanan yang lebih seperti kuantitas dan kualitas obat yang spesifik seusai dengan penyakit dan peningkatan pelayanan lainnya.
Pasal 51 dalam Perpres no. 82/2018 terbagi dalam tiga ayat.
Pertama, tertulis bahwa peserta BPJS Kesehatan dapat meningkatkan perawatan yang lebih tinggi dari haknya, termasuk rawat jalan eksekutif, dengan mengikuti asuransi kesehatan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin dengan biaya yang harus dibayar.
Kedua, selisih tersebut dapat dibayarkan oleh diri sendiri, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.
Ketiga, pasal tersebut dikecualikan bagi PBI BPJS Kesehatan, peserta yang didaftarkan pemerintah daerah, dan pekerja yang terkena PHK beserta anggota keluarganya.
Dorojatun menilai dengan menyosialisasikan pasal tersebut, defisit BPJS Kesehatan dapat terbantu. Alhasil, ketersediaan obat akan membaik dengan terbayarnya kewajiban rumah sakit terhadap distributor maupun produsen obat. Pasalnya, ujarnya, alokasi biaya obat terhadap total biaya BPJS Kesehatan adalah 25%.
Adapun, menurutnya, indeks stok kecukupan obat di cabang distributor akan tetap menjadi tantangan pada tahun ini. Hal tersebut, imbuhnya, terjadi karena akurasi rencana kebutuhan obat (RKO) yang diserahkan kepada Kementerian Kesehatan hanya berkisar 60%--70%.
Menurutnya, hal tersebut dapat diatasi dengan adanya integrasi dan transparansi sistem informasi stok obat berbasis TI di level fasilitas kesehatan, cabang distributor, dan pabrik. “Masalah IT ini jangan dikira masalah internet,” tegasnya.