Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah Provinsi Papua dan WWF-Indonesia melakukan pertemuan awal membahas pengaturan kelembagaan dan intervensi strategis untuk pembangunan yurisdiksi rendah karbon guna menjalankan kesepakatan yang dicapai dalam forum para gubernur mengenai iklim (Governor Climate Forum/GCF).
GCF yang beranggotakan 38 gubernur dari berbagai negara termasuk Indonesia, Afrika, Amerika Latin dan Amerika Serikat berkomitmen menahan peningkatan emisi karbon dioksisa (CO2) yang berasal dari perubahan tutupan lahan.
Menurut siaran pers WWF Indonesia yang diterima di Jakarta, Rabu (13/3/2019) Papua yang wilayahnya seluas 31.406.664 hektare merupakan salah satu provinsi yang tergolong memiliki tutupan hutan luas di antara anggota GCF.
Tata kelola pembangunan rendah emisi karbon diharapkan bisa menjawab tantangan seperti deforestasi dan degradasi hutan akibat pembalakan liar di wilayah Papua.
Direktur WWF-Indonesia Program Papua Benja V. Mambai mengatakan program tata kelola hutan rendah emisi mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial, budaya dan ekonomi serta lembaga adat, termasuk hukum adat dan batas wilayah adat di Papua.
Papua akan menjadikan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Biak-Numfor dan Supiori serta KPH Kepulauan Yapen sebagai model proyek pembangunan rendah karbon GCF selama 18 bulan ke depan.
Baca Juga
Sebelumnya, dalam pertemuan Komisi Daerah Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Papua dengan WWF-Indonesia, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan pembentukan KPH di Papua menghadapi tantangan yang berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Di Papua, pembentukannya didasari pada hak kepemilikan tanah adat dan nilai-nilai tradisional yang menjadi identitas masyarakat Papua.
Hampir tiga juta atau sekitar 84% orang Papua menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Sebagian besar dari mereka dianggap miskin. Dan konflik sosial dapat dengan mudah terjadi jika perencanaan KPH tidak mempertimbangkan ketergantungan masyarakat Papua terhadap hutan.
Pemberian hak otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 memberi pemerintah Provinsi Papua wewenang penuh untuk mengatur orang Papua sesuai dengan aspirasi dan hak tradisional mereka.
Lukas mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan dari berbagai sektor di tingkat provinsi, kabupaten, distrik dan kampung dalam mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan.
Ia berharap proyek GCF di dua KPH berhasil dan bisa ditiru oleh KPH lainnya.
Dengan dukungan penuh para pemangku kepentingan, Papua akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya tata guna lahan yang berkelanjutan dan mendukung komitmen nasional dan global mengekang emisi CO2 dan mengatasi perubahan iklim.
Benja mengatakan mayoritas emisi karbon di Indonesia berasal dari perubahan penggunaan lahan, karena itu sektor berbasis lahan telah ditetapkan sebagai prioritas dalam upaya mencapai target pengurangan emisi nasional.