Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Mendorong Kesadaran Berinvestasi di Era Milenial

Seharusnya pepatah “menabung pangkal kaya” dapat direvisi lebih rasional dengan pepatah baru yaitu “investasi pangkal kaya”. Suatu analogi yang lebih tepat untuk semakin mempromosikan budaya investasi dalam membangun negeri besar ini.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Kesadaran untuk memilih berinvestasi sepertinya makin tumbuh bagi kaum muda di era modern ini atau generasi milenial.

Hal itu menilik investasi kepada pemerintah, yang dapat dilihat dari statistik hasil penjualan Sukuk Tabungan Seri 003 dan Saving Bond Ritel (SBR) Seri 005 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan baru-baru ini.

Tercatat 51,74% dari total 13.392 investor Sukuk berasal dari generasi milenial. Begitu juga dengan penjualan SBR, tercatat lebih dari 55% milenial mendominasi proporsi investor baru yang mencapai 12.961 investor.

Kemudian dalam sektor pasar modal, jumlah investor perorangan yang tercatat oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencapai 1,5 juta orang. Jumlah tersebut didominasi oleh milenial dengan porsi mencapai 59% dari total investor.

Beberapa kondisi tersebut menggambarkan perubaan pola masyarakat modern yang mulai melirik investasi dibanding dengan menabung.

Memang seiring dengan semakin bertambahnya dinamika ekonomi, analogi pepatah “menabung pangkal kaya” mulai kurang diminati para milenial. Analogi tersebut sepertinya tak lagi mempunyai korelasi kuat terhadap kesejahteraan masyarakat.

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa menabung adalah salah satu penyebab utama Depresi Besar (Great Depression) yang terjadi pada 1930 di dunia Barat.

Depresi Besar adalah peristiwa paling traumatik yang melanda dunia pada abad 20. Sebuah kejadian yang tak disangka mengingat sebelumnya terjadi kemajuan besar yang dicapai dalam standar hidup dunia Barat pada era 1920-an karena munculnya revolusi industri.

Akibat depresi ini, hampir separuh bank ambruk. Tingkat pengangguran naik lebih dari 25% dan harga saham terjun bebas.

Menurut Keynes, salah satu ekonom terbesar dalam sejarah, faktor yang menyebabkan keruntuhan ekonomi pada waktu itu adalah sifat hemat yang dilakukan oleh para penabung. Pada waktu itu akumulasi dana yang tertidur dan menggunung tak mampu menggerakkan roda perekonomian.

Barang-barang menjadi sepi peminat karena perilaku hemat para konsumen. Produsen pun kelimpungan dan perlahan gulung tikar karena melimpahnya barang yang tak terbeli atau oversupply.

Keynes berpendapat bahwa penghematan dapat menyebabkan “lingkaran setan” kemiskinan dan pengangguran yang sulit dipatahkan. Dibutuhkan strategi peningkatan konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah untuk memutus rantai lingkaran setan tersebut.

Penumpukan dan penghematan dalam era Depresi Besar adalah ironi yang memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Hal inilah yang mendasari adanya fungsi pembiayaan dalam penganggaran yang sering diadopsi oleh negara-negara berkembang. Alih-alih menggunakan Penganggaran surplus atau seimbang yang lebih hemat, tuntutan untuk terus berlomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi menyebabkan sistem penganggaran didesain secara defisit sehingga pengeluaran negara lebih besar dibanding dengan pendapatan yang diraih.

Konsep ini memunculkan strategi pembiayaan untuk mengakomodasi defisit tersebut melalui utang ataupun investasi.

Ketika pilihan menabung kurang relevan lagi dalam era globalisasi yang semakin dinamis, tentu investasi adalah pilihan yang cukup rasional. Walaupun demikian, pilihan investasi masih berhadapan dengan “lawan tangguh” yaitu budaya konsumtif.

Budaya konsumtif milenial masih menjadi pekerjaan rumah untuk pembangunan ekonomi jangka panjang.

Konsumsi tetap menjadi faktor yang sangat dominan di mana perannya mencapai 2,74% dalam pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17% pada 2018.

Budaya konsumtif hanya memberikan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan kurang mampu memberikan stabilisasi pertumbuhan dalam jangka panjang. Padahal stabilisasi pertumbuhan adalah hal yang sangat penting bagi negara yang ingin bertransformasi menjadi negara maju seperti Indonesia.

FONDASI PEREKONOMIAN

Kesadaran investasi perlu terus ditingkatkan dibandingkan dengan konsumsi ataupun menabung.

Investasi menjadi faktor penting fondasi perekonomian dan pembentukan modal suatu negara serta pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Pemerintah sendiri saat ini juga membutuhkan unsur pembiayaan untuk membangun negeri. Pilihan desain kebijakan fiskal berupa defisit anggaran yang telah diterapkan pemerintah adalah momentum yang dapat dimanfaatkan para pelaku ekonomi untuk ikut membangun negeri melalui sektor pembiayaan utang dan investasi.

Pemerintah juga selalu mendukung perubahan paradigma masyarakat dari budaya menabung menjadi budaya berinvestasi atau investment-oriented society.

Selain SBR dan Sukuk yang telah disebutkan sebelumnya, masih banyak ragam pilihan investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain melalui Obligasi negara Ritel (ORI), Surat Perbendaharaan Negara (Treasury Bills), dan Obligasi Negara (Treasury Bonds).

Berbagai pilihan investasi ini menciptakan diversifikasi portofolio bagi investor untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kepercayaan terhadap pembiayaan investasi yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah.

Sebagai negara yang membutuhkan akselerasi pertumbuhan ekonomi untuk menyusul negara-negara yang telah bergerak pesat terlebih dahulu, investasi adalah hal yang sangat dibutuhkan. Investasi memberikan kesempatan yang lebih bagi pelaku ekonomi untuk berpartisipasi dalam memutar roda perekonomian.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika ekonomi era modern, berinvestasi adalah pilihan yang lebih tepat.

Selain mampu memberikan suntikan modal terhadap skala ekonomi negeri, berbagai keuntungan juga dapat diraih oleh para investor dengan berputarnya dana yang diinvestasikan.

Rusaknya perekonomian dunia akibat penimbunan tabungan di era Depresi Besar adalah contoh nyata bagi budaya masyarakat dalam era modern.

Menabung bukanlah solusi untuk mencapai kemakmuran negeri. Kita sebetulnya diberi pilihan mudah antara tetap menabung untuk menumpuk modal yang tak menguntungkan bangsa, konsumsi berlebihan yang merugikan diri sendiri atau berinvestasi untuk berkontribusi membantu bangsa meningkatkan perputaran roda ekonomi.

Seharusnya pepatah “menabung pangkal kaya” dapat direvisi lebih rasional dengan pepatah baru yaitu “investasi pangkal kaya”. Suatu analogi yang lebih tepat untuk semakin mempromosikan budaya investasi dalam membangun negeri besar ini.

 *) Artikel dimuat di koran cetak bisnis Indonesia edisi Sabtu (2/3/2019)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper