Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perlambatan Global Bisa Berisiko Bagi Utang Luar Negeri Indonesia

Kendati level utang luar negeri Indonesia terbilang aman, risiko peningkatan rasio utang terhadap pendapatan atau debt to services harus menjadi perhatian. 
ilustrasi./Antara
ilustrasi./Antara
JAKARTA--Kendati level utang luar negeri Indonesia terbilang aman, risiko peningkatan rasio utang terhadap pendapatan atau debt to services harus menjadi perhatian. 
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan kesehatan utang bisa dilihat dari rasio debt to services (DSR) tier-1 yang rata-rata di kisaran 24% masih menunjukkan batas yang aman. 
"Ini menunjukkan kinerja utang luar negeri belum berkorelasi signifikan terhadap penerimaan valas terutama dari ekspor," ujar Bhima, Minggu (17/02).
Namun, dia mengingatkan efek perang dagang dan rebalancing di China serta penurunan harga komoditas perkebunan merupakan kendala utama bagi ekspor pada tahun ini. 
Jika kinerja ekspor sulit diandakan, dia khawatir DSR akan membengkak dan menunjukkan tanda-tanda utang menjadi kurang produktif. Posisi DSR tier 1 Indonesia sebesar 24,08% pada akhir 2018, lebih rendah dibandingkan posisi akhir 2017 dan 2016 yang masing-masing sebesar 25,54% dan 35,35%.
Untuk menghadapi kondisi ini, Bhima menegaskan pendalaman pasar surat utang di dalam negeri tetap harus berjalan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta dengan beralih memanfaatkan utang domestik. 
"Penerbitan surat berharga ritel dengan minimum pembelian Rp1 juta seharusnya perlu didorong," kata Bhima. 
Baik swasta dan pemerintah bisa melakukan refinancing atau pembiayaan ulang utang. Khusus bagi pemerintah, pemerintah dapat melakukan refinancing dengan instrumen berbunga rendah, yaitu dalam bentuk pinjaman bilateral dan multilateral. 
Menurutnya, rata-rata bunga SBN 8%, sementara pinjaman bilateral bisa di bawah 4%. 
Cari lain adalah debt swap atau menukar utang luar negeri pemerintah. Tukar utang bisa dijalankan melalui program lingkungan dan rekonstruksi bencana. 
Salah satu contohnya program debt swap dengan Jerman termin 1 dan 2 yang sudah berjalan. Sementara itu, termin selanjutnya dapat bentuk debt to nature swap di bidang lingkungan hidup dan kelautan. 
Selain dengan Jerman, Indonesia pernah melakukan debt swap dengan Italia pada 2005 ketika ada bencana alam di Aceh dan Nias. 
Ke depannya, Bhima melihat tren kenaikan utang luar negeri masih akan terus berlanjut. Pasalnya, investor dan kreditur global memiliki preferensi untuk masuk ke pasar negara berkembang di tengah ekonomi negara maju yang sedang lesu dan the Fed menahan sinyal untuk kembali menaikkan bunga acuan. 
Hal ini ditambah dengan imbal hasil utang luar negeri Indonesia, khususnya korporasi, yang relatif tinggi. Imbal hasil utang dalam denominasi rupiah saja berkisar 9-10%. 
Terbukti, penerbitan surat utang swasta dan pemerintah sampai akhir tahun lalu masih penuh peminat asing. "Momentum ini yang dimanfaatkan untuk terbitkan utang jor-joran pemerintah," kata Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper