Bisnis.com, JAKARTA — Dari delapan sektor industri yang dipilih pemerintah untuk memperbaiki kinerja perdagangan nonmigas, belum ada satupun yang telah benar-benar siap dan mumpuni untuk mendongkrak performa ekspor secara optimal.
Pasalnya, kedelapan sektor tersebut ditengarai masih terganjal sederet permasalahan klasik yang tak kunjung dituntaskan oleh pemerintah.
Adapun, kedelapan industri andalan yang belum lama ini dipetakan oleh Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian tersebut a.l. otomotif, tekstil dan produk tekstil (TPT), produk kimia, elektronik, makanan dan minuman (mamin), perikanan, permesinan, serta produk kayu (furnitur).
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menjelaskan, kedelapan sektor tersebut masih terganjal oleh persoalan klasik seperti ketersediaan bahan baku di dalam negeri, hambatan perpajakan, rendahnya utilisasi pabrik, serta akses pasar.
Terbukti, sebutnya, kinerja ekspor dari beberapa sektor—seperti industri mamin dan permesinan—justru loyo pada 2018.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengapalan produk mamin olahan dan barang mesin tahun lalu masing-masing mencapai US$29,91 miliar dan US$2,81 miliar, turun dari tahun sebelumnya senilai US$31,85 miliar dan US$2,97 miliar.
“Pemerintah perlu mengidentifikasi [penyebab] koreksi ekspor kedua sektor tersebut guna melihat potensinya. Selain itu, saya melihat ada beberapa hambatan di beberapa industri seperti TPT dan perikanan terkait dengan bahan baku, serta di sektor otomotif terkait dengan masalah perpajakan seperti pajak pertambahan nilai barang mewah [PPnBM],” jelasnya, Minggu (27/1).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman membenarkan, seharusnya industri mamin sudah siap menjadi tulang punggung ekspor Indonesia.
Sayangnya, hingga para pelaku usaha sektor tersebut masih saja dihadapkan pada persoalan hambatan nontarif dan ketersediaan bahan baku.
“Proteksi yang diberikan di negara tujuan ekspor kami semakin besar, mulai dari wajib registrasi ulang, perubahan standar keamanan pangan, ketidakpastian permintaan, hingga bea masuk yang tinggi ke kawasan Afrika dan Asia Selatan,” jelasnya.
Dari dalam negeri, sambungnya, industri mamin diadang sumbatan regulasi yang tumpang tindih serta problema ketergantungan bahan baku impor yang tak kunjung tuntas. Biaya produksi mamin olahan di Tanah Air pun menjadi lebih tinggi, sehingga produk yang dihasilkan menjadi kalah saing ketika dijual di pasar global.
POTENSI BESAR
Lain halnya dengan Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto, yang mengatakan bahwa industri otomotif sejatinya memiliki potensi ekspor yang sangat besar.
Pasalnya, utilitas pabrik otomotif Tanah Air pada tahun lalu baru mencapai 1,3 juta unit dari kapastias terpasang sebesar 2,2 juta unit. Hanya saja, tuturnya, jenis produk otomotif yang banyak diproduksi tidak sesuai dengan permintaan pasar global.
“Kendalanya adalah ekspor kita masih berkutat pada segmen multi purposed vehicle [MPV], padahal yang diminati di dunia adalah sedan. Sementara itu, di dalam negeri tidak banyak yang produksi sedan karena permintaan di dalam negeri yang rendah. Bagaimana kita mau ekspor kalau industri sedan di dalam negeri saja dibebani pajak besar?” jelasnya.
Jongkie menambahkan, permintaan sedan yang rendah di dalam negeri disebabkan oleh pengenaan PPnBM yang menyebabkan pangsa pasar sedan di Indonesia hanya mencapai 1% dari total permintaan produk otomotif.
Dia menilai kendala dari dalam negeri itulah yang membuat kinerja ekspor otomotif pada tahun lalu tidak maksimal.
Indonesia, lanjutnya, bahkan kalah dengan Thailand yang gencar memproduksi sedan, lantaran tidak ada pembatasan dari sisi perpajakan dari dalam negeri mereka.
“Amerika Serikat [AS] dan Australia itu berminat sekali dengan sedan. Maka dari itu, kami harus upayakan bagaimana supaya bisa masuk ke segmen itu. Caranya, kita buka dulu pasar segmen [sedan] itu di dalam negeri,” jelasnya.
Permasalahan klasik seputar perpajakan juga dirasakan oleh pelaku industri TPT.
Ketua Umum Asosiasi Petekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mendetailkan, pengenaan bea masuk 10% terhadap polyethylene terephthalate (PET) selama ini telah menghambat kinerja ekspor industri TPT.
Pasalnya, tingginya bea masuk bahan baku tekstil dan terbatasnya kapasitas produksi PTE di dalam negeri, membuat harga serat polyester untuk campuran benang menjadi tinggi.
“Kalau misalnya bea masuk PET itu dikurangi atau dihapuskan, saya yakin kinerja sektor TPT akan lebih maksimal. Sebab, harga produk hilir menjadi lebih murah dan bisa bersaing di pasar ekspor,”jelasnya.
Dengan demikian, dia menilai potensi industri TPT sebagai andalan ekspor belum cukup maksimal karena masih banyaknya hambatan di lini hulu yang belum tuntas, sehingga berakibat pada bengkaknya ongkos produksi.
“Sebab, indikator keberhasilan kami di pasar global selain kuaitas adalah harga produk,” tegas Ade.
Sementara itu, persoalan keterbatasan bahan baku juga menjadi salah satu kendala bagi industri perikanan dalam memaksimalkan ekspor.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP3I) Budhi Wibowo mengatakan, berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada 2016, utilitas industri pengolahan ikan di Indonesia hanya mencapai 52%.
Pada periode yang sama, nilai ekspor sektor industri tersebut mencapai US$0,96 juta.
Pada 2018, sebutnya, tingkat utilitas industri pengolahan ikan hanya mampu tumbuh tipis yakni 3%—5%.
“Kenapa tumbuh tipis? Karena pasokan bahan baku ke industri masih terbatas. Untuk itu, jika ingin menjadikan industri ini sebagai tulang punggung ekspor, persoalan keterbatasan bahan baku ini harus diselesaikan,” jelasnya.
Sementara itu, permasalahan lain yang dihadapi oleh pelaku industri produk kayu berkaitan dengan ketatnya persyaratan sertifikasi yang memberatkan pengusaha yang berorientasi ekspor.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menilai, pemerintah seharusnya menghapuskan kewajiban dokumen sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) bagi indusri hilir produk kayu. Sebab, SVLK sejatinya lebih berkaitan langsung dengan lini hulu industri kayu.
“Kami ini pakai bahan baku kayu 100% dari dalam negeri, otomatis sudah SVLK. Kenapa yang di hilir juga diwajibkan? Padahal, pengurusan SVLK itu biayanya besar sekali. Ini yang menghambat kinerja ekspor kami,” katanya.
Menanggapi permaslahan-permasalahan tersebut, Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, pemerintah saat ini masih terus menghimpun kendala-kendala ekspor yang dialami oleh pelaku kedelapan sektor industri andalan tersebut.
“Intinya kami sedang mendengarkan masukan dari kalangan usaha. Dari situ akan kelihatan mana saja yang perlu ditambah insentifnya dan akhirnya terpilih sebagai unggulan ekspor yang kami genjot kinerjanya. Istilahnya pick the winner,” jelasnya.
Ekspor Industri Andalan (US$ miliar)
------------------------------------------------------------------------------------
Sektor 2017 2018
------------------------------------------------------------------------------------
Tekstil dan pakaian jadi 12,57 13,27
Kendaraan bermotor 5,89 6,17
Industri bahan dan barang dari kimia 12,70 13,93
Elektronik 6,11 6,29
Makanan dan minuman 31,85 29,91
Furnitur 1,61 1,69
Perikanan tangkap dan budidaya 0,46 0,54
Permesinan 2,97 2,81
------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: BPS, diolah