Bisnis.com, JAKARTA - Revitalisasi berbagai pabrik gula merupakan langkah penting guna melesatkan produktivitas perkebunan tebu yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia, kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman.
"Salah satu penyebab rendahnya produktivitas gula lokal adalah banyak pabrik gula di Indonesia yang sudah sangat tua," kata Assyifa Szami Ilman di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, pabrik-pabrik gula ini perlu mendapatkan revitalisasi mesin produksi, belum lagi mempertimbangkan kualitas tebu yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan iklim lokal.
Assyifa berpendapat bahwa menekan impor gula bukanlah pekerjaan mudah, dan dapat dilakukan apabila produksi dalam negeri sudah mencukupi permintaan dan tersedia pada harga yang terjangkau di pasar.
"Tentunya dengan memiliki komoditas gula yang terjangkau dan tersedia secara lokal, baik produsen maupun konsumen sama-sama beruntung," jelasnya.
Apalagi, Ilman menyatakan bahwa saat ini, harga gula lokal tiga kali lebih mahal dibandingkan harga gula di pasar internasional. Tingginya harga gula lokal mengindikasikan adanya biaya produksi yang tinggi di tingkat produsen lokal.
Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektar di tahun 2017.
Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil yang sebesar 68,94 ton per hektar dan India yang sebesar 70,02 ton per hektar dalam periode yang sama.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Revrisond Baswir mengingatkan pentingnya revitalisasi pabrik gula secara menyeluruh untuk mengatasi persoalan harga gula lokal yang tinggi dan tidak laku di pasar.
"Revitalisasi pabrik kelihatan setengah hati, seharusnya revitalisasi menyeluruh," kata Revrisond Baswir.
Revrisond menjelaskan pabrik gula yang sudah tua dan tidak lagi efisien menghasilkan gula dalam negeri yang mahal dan harganya lebih tinggi dari gula impor.
Namun, ia mengakui revitalisasi pabrik gula masih sulit dilakukan karena penanam modal ragu melihat produksi tebu nasional yang belum mencukupi untuk kebutuhan pabrik gula.
"Selama ini lahan tebu masih bercampur-campur, karena jarang lahan tebu saja tanpa ditanami apa-apa lagi," ujar pengajar Universitas Gadjah Mada ini.
Selain itu, perluasan lahan tidak mudah dilakukan karena perubahan peruntukan lahan pertanian masih menjadi kendala dan belum ada upaya serius untuk membenahi masalah ini.
Berdasarkan data statistik, rata-rata lahan perkebunan tebu dalam periode 2008-2017 tidak banyak mengalami perubahan yaitu pada kisaran 450.000 hektare dengan produksi 246 juta ton.