Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Karet Indonesia [Dekarindo] menilai upaya pemerintah memanfaatkan aspal karet demi mendongkrak harga di dalam negeri bisa saja kurang optimal. Kendati demikian, harapan tentang perbaikan harga belum juga memudar.
Ketua Dewan Karet Indonesia [Dekarindo] Aziz Pane mengatakan penggunaan karet sebagai bahan pembuatan aspal maksimal hanya menyerap 10% dari produksi.
Menurut Aziz hal itu tidak akan terlalu banyak berpengaruh kepada petani maupun serapan dalam negeri. Seandainya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah tidaklah besar untuk pembangunan industri ini hasil yang didapatkan pun tidak besar.
Kendati demikian, Aziz mengungkapkan langkah ini bisa jadi mengantisipasi anjloknya harga karet lebih jauh di pasar internasional. Dengan penggunaan karet sebagai aspal, Indonesia bisa sedikit memberikan 'shock therapy' kepada dunia kalau kelebihan pasokan bisa tertangani.
Dia menambahkan, pemanfaatan aspal karet ada tiga macam. Pertama, menggunakan parutan karet ban bekas seperti di amerika yang tidak banyak berpengaruh pada petani. Kedua, menggunakan latex seperti di Thailand yang terbilang mahal.
"Ketiga itu menggunakan crumb rubbers yang dimaksud pemerintah dan sudah ada penelitiannya dan uji coba. Tadinya ada rencana untuk membangun jalan di kawasan Ancol, Istana Negara dan Istana Bogor tapi mahal meskipun tidak semahal latex," katanya.
Aziz berpendapat alangkah baiknya anggaran digunakan untuk membina UKM pemanfaatan ban vulkanisir. Pasalnya, industri ban vulkanisir berpotensi menyerap karet lebih banyak lagi dibandingkan dengan aspal.
"Industri ban baru per tahun menyerap 460.000 ton sedangkan industri ban vulkanisir menyeral 96.000 ton-110.000 ton. Kenapa itu bukan yang dimaksimalkan supaya serapan lebih besar?" Katanya.
Menurutnya frekuensi penggunaan ban vulkanisir akan lebih cepat menyerap karet dibandingkan dengan aspal. Pasalnya perbaikan jalan rusak memerlukan jangka waktu minimal 5 tahun. Apalagi, ban vulkanisir mengoptimalkan ban bekas supaya tidak menjadi sampah terbengkalai.