Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa penandatanganan kontrak kerja sama bagi hasil kotor atau gross split Blok Rokan dapat diteken pada akhir Januari 2019.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan bahwa penandatangan kontrak dengan skema bagi hasil dari produksi kotor di Blok Rokan oleh PT Pertamina akan segera dilakukan.
“Secepatnya dalam bulan ini,” tuturnya, Senin (7/1/2019).
Hal ini, mengamini pernyataan Menteri ESDM Ignasius Jonan pada paparan kinerja Kementerian ESDM, akhir pekan lalu. Jonan mengatakan pembahasan kontrak kerja sama memakan waktu sekitar dua pekan, sebelum akhirnya ditandatangani.
“Ya ini kan banyak sebagian yang masih cuti. Ya pekan depan dibahas ya. Kalau sudah mulai hari ini, ya dalam dua pekan ke depan sudah bisa ditandatangani,” kata Jonan.
Dengan dikelolanya Blok Rokan oleh Pertamina mulai 9 Agustus 2021 mendatang, maka kontribusi produksi minyak BUMN tersebut meningkat menjadi 60% dari produksi minyak nasional. Tahun ini, kontribusi produksi minyak Pertamina sekitar 36%.
“Nah di 2021 nanti, kami ekspektasi, kontribusi minyak Pertamina bisa meningkat 50%,” tambahnya.
Sebelumnya pada Desember lalu, Pertamina telah membayar bonus tanda tangan sebesar US$784 juta atau Rp11,3 triliun dan jaminan pelaksanaan sebesar 10% dari total komitmen kerja pasti (KKP) yang mencapai US$500 juta atau Rp7,2 triliun.
Hingga saat ini, Blok Rokan merupakan blok minyak terbesar di Indonesia. Produksinya mencapai 207.000 barel per hari atau setara dengan 26% produksi nasional.
Blok yang memiliki luas 6.220 kilometer ini memiliki 96 lapangan di mana tiga lapangan berpotensi menghasilkan minyak sangat baik yaitu Duri, Minas dan Bekasap. Tercatat, sejak beroperasi 1971 hingga 31 Desember 2017, total produksi di Blok Rokan mencapai 11,5 miliar barel minyak sejak awal operasi.
Sementara itu, Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan saat ini, proses pembahasan sudah selesai, tinggal finalisasi.
“Soal [nama dan progress] anak usahanya, tanya Pertamina,” katanya.
Menjelang berakhirnya operasional PT Chevron Pasific Indonesia di Blok Rokan, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memproyeksi wajar kalau Chevron terus mengurangi produksi mereka. “Langkah pemangkasan anggaran terjadi secara otomatis, salah satunya dengan mengajukan penutupan sumur yang tidak berproduksi lagi,” katanya.
BERKACA DARI BLOK MAHAKAM
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan pembahasan intensif sedang dilakukan oleh Pertamina dan Chevron terkait transisi pengelolaan Blok Rokan. Menurutnya, Pertamina perlu lekas berinvestasi di Rokan sebagai bagian proses transisi.
“iya ini minggu kita udah mulai kick off rapatnya mudah-mudahan bisa segera difinalisasi,” ungkapnya.
Berkaca dari pengelolaan Blok Mahakam, Pertamina sudah berinvestasi pada 2017, meski pengelolaannya di mulai pada 2018. Hanya saja, kinerja tahun pertama blok Mahakam di tangan Pertamina tercatat jauh di bawah target APBN 2018.
Tahun lalu, lifting gas bumi Pertamina Hulu Energi Mahakam tercatat 832 mmscfd atau 75% dari target APBN 2018. Sementara itu, pada 2017, Total berhasil mencatat lifting gas sebesar 1.286 mmscfd.
Dwi menambahkan investasi pada masa transisi Blok Mahakam tercermin kepada kinerja 2018. “Tinggal yang 2019 nih, apakah pada 2018 investasi ga?. Tahun ini rencananya [investasi] mereka banyak,” tambahnya.
Terkait kinerja tahun pertama Pertamina di Blok Mahakam, Arcandra menampik jika perusahaan pelat merah itu tidak bekerja maksimal. Menurutnya, kinerja PHE Mahakam tahun lalu jauh lebih baik daripada proyeksi kinerja Total ketika perusahaan hulu migas asal Prancis itu dalam proposal penawarannya.
"Masih lebih tinggi dari prediksi penurunan yang diajukan Total," tambahnya.