Bisnis.com, JAKARTA – Selama 20 triwulan terakhir rata-rata pertumbuhan industri pengolahan Indonesia selalu dibawah rerata pertumbuhan ekonomi, yaitu masing-masing 4,24% dan 5,03%.
Di penghujung 2018 tampaknya hal ini akan berulang. Hampir dapat dipastikan industri belum dapat menjadi akselerator utama pertumbuhan ekonomi. Industri pengolahan pada triwulan III baru membukukan pertumbuhan dibawah ekonomi yaitu 5,17%, sedikit lebih tinggi dari tahun lalu.
Dengan waktu tersisa sulit diharapkan pertumbuhan akan jauh meningkat. Berdasar pengalaman, dengan capaian yang ada diperkirakan akhir tahun 2018 pertumbuhan tidak berubah banyak, sehingga kontribusi industri terhadap perekonomian akan tetap dibawah 20%. Padahal 10 tahun lalu pernah mencapai 29%.
Pertumbuhan sampai dengan triwulan III tahun ini ditopang oleh 10 cabang yang bertumbuh positif dari 16 cabang industri. Sebagai penggerak utama karena mampu tumbuh diatas rata-rata ekonomi lima tahun, yakni industri produk makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, barang kulit dan alas kaki, barang karet dan plastik, logam dasar serta industri mesin dan perlengkapannya.
Enam cabang ini menyumbang hampir mencapai 50% produk domestik bruto (PDB) industri. Lima cabang lainnya yang tumbuh positif tapi dibawah rata-rata ekonomi adalah batu bara dan pengilangan migas, kayu dan barang kayu, bahan galian bukan logam, alat angkut, dan furniture. Kelimanya menyumbang sekitar 27% terhadap PDB industri.
Sisanya yaitu cabang industri kertas dan barang kertas, kimia dan farmasi, barang logam dan elektronika serta industri pengolahan lainnya bertumbuh negatif dengan andil sekitar 26% PDB industri. Sulit dicerna bahwa salah satu unggulan ekspor yaitu industri elektronika, pertumbuhannya mandek dan sudah 10 triwulan terakhir tumbuh rata-rata hanya 2%. Padahal 10 triwulan sebelumnya tumbuh 6%.
Bila tidak ditolong oleh cabang industri makanan dan minuman yang tumbuh 11% dengan andil 32% terhadap PDB industri, agak sulit membayangkan apa yang terjadi dengan kinerja industri manufaktur Indonesia tahun ini.
Ekspor sektor industri tidak tumbuh signifikan. Data sampai dengan Oktober tahun ini hanya naik 6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Turunnya harga sawit merupakan salah satu faktor utama, karena 13% ekspor sektor industri ditopang oleh sawit. Sekitar 22% produk industri seperti tekstil, produk karet, kertas, dan elektronika tumbuh negatif. Selebihnya tumbuh secara rata-rata tertimbang 11%.
Impor produk industri sangat mengejutkan dimana sampai dengan Oktober 2018 saja tumbuh tidak tanggung-tanggung, yaitu 23% terhadap periode sebelumnya. Sebanyak 90% kelompok produk impor yang masuk tumbuh diatas 15%, dan 73% darinya diatas 20%.
Perbaikan dwelling time rasanya lebih banyak dinikmati importir daripada eksportir. Tidak alergi terhadap impor. Persoalannya, data pertumbuhan industri dan investasi tidak menunjang asumsi bahwa barang impor yang meningkat luar biasa itu untuk diproses.
Banyak sekali yang sudah diproduksi di dalam negeri. Tersisa dua bulan menjelang akhir tutup buku 2018, defisit ekspor terhadap impor produk industri sudah US$13 miliar. Dilihat dari negara asal, defisit yang terbesar adalah dari China (US$22 miliar), Jepang (US$4,8 miliar), dan Singapura (US$1 miliar).
Hal ini menggambarkan industri berada dalam kesulitan luar biasa. Industri berkandungan teknologi tinggi, yang biasanya menjadi motor pertumbuhan seperti alat angkut dan kimia, kembali absen menjadi motor pertumbuhan. Memang kendaraan bermotor sudah hampir 5 tahun relatif stagnan pertumbuhannya.
Industri yang tumbuh positif signifikan ternyata adalah yang menggunakan bahan baku domestik yang tinggi serta merupakan konsumsi masyarakat yang besar.
Lemahnya dukungan sektor industri terhadap ekonomi, selain karena dipengaruhi keadaan ekonomi domestik, kondisi global yang tak menentu, dihantam impor, juga dipicu banyak faktor pendukung investasi yang masih menghambat. Misalnya faktor ketenagakerjaan yang merupakan kunci di industri tekstil dan elektronika. Aspek ini dalam Global Competitiveness Index 2018 masih di urutan 82, jauh sekali di bawah peringkat negara Asean lainnya.
Beberapa faktor penentu biaya lainnya seperti dinamika politik dan perizinan di daerah, tarif listrik, keterbatasan pasokan dan mahalnya harga gas, kenaikan nilai tukar hingga biaya logistik masih menjadi faktor penghambat investasi. Belum bisa diredam oleh paket ekonomi yang diluncurkan. Rasanya belum terlihat bahwa para pebisnis antusias dan gairah berinvestasi di industri secara masif.
Bagaimana menghadapi tantangan di 2019? Sulit diharapkan bahwa ekonomi global dan posisi fiskal tahun depan bisa lebih baik, mengingat di tingkat global berlangsung perseteruan yang belum terlihat ujungnya antara AS dan China.
Di dalam negeri sendiri, dunia usaha cenderung menunggu hasil pesta demokrasi. Di sisi lain, China adalah pabrik dari separuh barang manufaktur dunia dan AS adalah negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Dunia, termasuk Indonesia, was-was dengan perseteruan ini. Pemilu bagi kalangan bisnis merupakan kalender penting, karena dampaknya akan sangat terasa bagi dunia usaha.
Memasuki 2019 paling tidak perkembangan industri yang sudah dicapai di tahun ini perlu dipelihara. Hendaknya pasar dalam negeri secara fair dapat dimanfaatkan maksimal oleh industri dalam negeri. Dan penggunaan produksi dalam negeri harus didorong optimal.
Impor produk ilegal dan praktik dumping harus dibasmi. Penerapan standardisasi produk harus ditegakkan secara konsisten. Kinerja cabang industri yang tumbuh negatif perlu dicari akar masalah dan jalan keluarnya, seperti barang logam, kimia, dan elektronika.
Industri yang mengakar di dalam negeri, terutama yang berkandungan lokal tinggi dan berperan besar dalam perekonomian khususnya penyedia lapangan kerja besar, tapi sudah memiliki kemampuan ekspor, harus dipacu untuk meningkat atau segera kembali tumbuh bagi yang sedang menurun. Furnitur, produk agro, produk turunan CPO, otomotif dan komponen, dan produk fabrikasi baja adalah jenis kelompok industri dimaksud.
Bagi industri yang tumbuh dibawah pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu turun tangan menurunkan beban biaya, terutama yang nilainya jauh diatas pesaing global seperti harga gas.
Jalankan ketentuan penggunaan kandungan lokal dan perkuat struktur industri. Tarik investasi swasta dan asing untuk produk industri yang masih belum diproduksi di Tanah Air guna menambah kapasitas produksi terpasang agar daya saing meningkat.
Insentif perpajakan dapat diberikan pada cabang industri dengan kategori ini. Tanpa menghilangkan beban dunia usaha, investor akan memilih investasi di negara lain seperti Vietnam atau Thailand.
Di penghujung tahun ini harga beberapa komoditas menurun tajam seperti CPO dan batu bara. Belum ada tanda-tanda sampai kapan pelemahan ini terjadi.
Memasuki 2019 perlu langkah-langkah terkoordinasi agar industri bisa tetap berkontribusi signifikan walau awan gelap masih menggantung. Untuk itu, komitmen semua pihak adalah mutlak.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (20/12/2018).