Bisnis.com, JAKARTA - Pengenaan cukai plastik sampai saat ini masih menimbulkan polemik. Di satu sisi pemerintah bertekad untuk secepatnya menerapkannya, di sisi lain masih ada penolakan terhadap kebijakan tersebut.
Siti Suparyono, Peneliti Utama Lembaga Riset Visi Teliti Saksama misalnya. Berdasarkan penelitiannya, penerapan cukai plastik dinilai sangat tidak tepat jika dikenakan pada produsen plastik. Terlebih jika tujuan utamanya adalah merubah prilaku masyarakat terhadap konsumsi plastik.
Dia menuturkan, meski pada akhirnya bisa ada mekanisme shifting cukai ke konsumen, tetapi hasil studi Visi tidak melihat hal tersebut terjadi.
"Yang terjadi, produsen bebannya besar, dan perilaku tidak berubah, jadi rencana penerapan kepada produsen plastik dengan tujuan mengurangi permasalahan sampah plastik sangat tidak tepat. Potensi pendapatan pemerintah tinggi, namun konsekuensinya beban pada produsen tinggi, dan meski tinggi, pendapatan cukai bersifat tidak berkelanjutan [one shot]," kata Sita dalam diskusi di Kemenko, Selasa (18/12/2018)
Ditambahkannya, konsumen tetap lebih memilih menggunakan kantong kresek meski berbayar dengan switching price rata-rata adalah Rp1.000.
“Jika diterapkan kantong kresek berbayar harga Rp200 atau harga yang pernah diterapkan pada program kantong kresek berbayar sebelumnya, atau bahkan lebih rendah lagi, besar kemungkinan tujuan cukai mengurangi konsumsi kantong kresek, tidak akan tercapai,” tuturnya.
Dia melanjutkan, berdasarkan survei yang dilakukan Visi teliti Saksama, ketika cukai plastik dikenakan, pedagang pasar tradisional juga tidak akan mengalihkan kenaikan harga plastik ke konsumen atau ke barang yang dijual. Penerapan cukai plastik justru akan membuka kesempatan masuknya kantong plastik impor.
“Kami bukan menentang cukainya tidak dikenakan. Tapi, hasil studi kami menyatakan bahwa cukai ini dengan sistem shifting price tidak akan terjadi. Makanya, kami mengambil contoh di Inggris, sebagian besar mereka mewajibkan pengenaan pajak di tingkat retail. Konsumen tetap membayar di tingkat retail. Penelitian kami, kalau di Indonesia, mekanisme shifting price itu tidak akan terjadi,” bebernya.
Ahli Lingkungan Ni Luh Widyaningsih mengatakan, pengenaan pajak plastik akan berpengaruh terhadap beberapa hal.
Bagi konsumen, tentunya sebagai pembeli membayar lebih tinggi, sedangkan bagi produsen, tentunya sebagai penjual menerima pendapatan lebih sedikit. Hal ini bergantung kepada siapa pajak dibebankan.
"Problem daur ulang itu, pasar untuk menjualnya. Sampah itu sebetulnya tidak jadi problem karena bisa jadi uang buat mereka. Di Indonesia, banjir tidak satu-satunya dari sampah, apalagi sampah plastik," ujar Ni Luh.