Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Koran Bisnis, Old hingga Zaman Kiwari

Media massa melaksanakan fungsi horisontalnya dengan cara menyediakan forum untuk menampung keanekaragaman (opini) publik. Insan pers dituntut untuk selalu mengasah kesadaran sosial dan kecerdasan politiknya agar mampu mengembangkan diskursus politik yang bernas selama proses pemilu.

Bisnis.com, JAKARTA – Mengapa judul tulisan ini pakai kata zaman Kiwari? Publik umumnya lebih akrab dengan kata ‘kids zaman now’ daripada ‘anak zaman kiwari’ yang artinya anak zaman sekarang.

Bahasa Indonesia terus memperkaya kosa kata, termasuk kata ‘kiwari’ yang berasal dari bahasa Sunda, resmi masuk dalam KBBI.

Pada zaman kiwari, anak muda tak lagi membaca koran cetak. Mereka adalah generasi digital, baca koran melalui gawainya. Dalam peringatan ulang tahun ke-33 Bisnis Indonesia hari ini, saya teringat akan sejarah kelahiran koran ini.

Bahkan ingatan melayang jauh hingga tahun 1915 ketika surat kabar mingguan bisnis De Bedrijfscourant pertama kali terbit di Sukabumi. Lima tahun kemudian terbit koran bisnis Weekblad can de Hendelsereeniging di Bandung. Jadi koran bisnis memang sudah ada zejak zaman old ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda dan Jakarta disebut sebagai Batavia.

Koran pertama di dunia adalah Relation aller Furnemmen und gedenckwurdigen yang terbit di Stasbourg, Prancis, pada 1605 oleh Johann Carolus (Media Massa dan Pasar Modal, 2018, hal. 47).

Di bumi Nusantara, sejarah surat kabar dapat dibagi dalam enam periode, yakni zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan zaman reformasi.

Pada 1744, masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff, terbit lagi koran Bataviasche Nouvelles, tetapi hanya hidup selama dua tahun. Kemudian pada 1828 diterbitkan Javasche Courant di Batavia yang memuat berita resmi pemerintahan, lelang dan kutipan dari harian di Eropa. Mesin cetak pertama di Indonesia juga datang melalui Batavia melalui seorang Nederland bernama W. Bruining dari Rotterdam yang kemudian menerbitkan surat kabar Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan dan berita umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).

Pada zaman Orde Baru terbit koran yang khusus memberitakan ekonomi dan bisnis yaitu Jurnal Ekuin pada April 1981. Namun usianya tidak panjang karena dibreidel pada April 1983.

Bisnis Indonesia lahir di zaman Orde Baru di mana Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sangat mahal, baik dalam artian ekonomi maupun politik. Mengurus perizinan sangat sulit sekali. Hanya mereka yang dekat dengan kekuasaan dan punya modal besar untuk bisa memiliki ‘ruh’ agar media massa yang akan diterbitkan bisa ‘hidup’ alias terbit.

Di bawah komando Amir Daud sebagai pemimpin redaksi, koran ini menyiapkan diri sejak 1 Agustus 1985. Hanya ada 20 wartawan di redaksi dan 20 karyawan di bagian perusahaan yang mengurusi iklan, sirkuliasi, dan administrasi keuangan.

Setelah 4 bulan, 13 hari mempersiapkan kelahiran, pada Sabtu 14 Desember 1985 dinihari, dummy koran dibawa dari kantor redaksi Jalan Kramat V No. 8, Jakarta ke percetakan PT Temprint di kawasan Pal Merah, Jakarta. Lahirlah edisi perdana Bisnis Indonesia di belantara persuratkabaran Tanah Air.

Pemilik koran ini, Sukamdani Sahid Gitosardjono (almarhum) dan istrinya Juliah Sukamdani, datang ke percetakan pukul empat pagi. Dari manajemen ada Lukman Setiawan sebagai wakil pemimpin umum dan pemimpin perusahaan Shirato Sjafei. Petinggi redaksi yang hadir adalah Abdullah Alamudi.

Dua tahun pertama koran ini hidup penuh kesulitan dan belum diterima pasar. Sebagai koran ekonomi terbit 12 halaman tetapi didominasi konten umum yang terdiri dari 3 halaman olahraga, 2 internasional, Nusantara, Santai dan Opini.

Manajemen redaksi diganti dan konten diperbaiki. Sukamdani turun tangan menjadi pemimpin redaksi. Sukamdani, yang saat itu juga sebagai Ketua Kadin Indonesia, harus ikut ujian tertulis sebagai wartawan di Persatuan Wartawan Indonesia DKI Jaya. "PWI menjual kartu pers kepada pengusaha," begitu tulis majalah Editor. Dunia pers Indonesia pun heboh.

Setahun kemudian, Bisnis Indonesia mulai dikenal publik pembaca dari kalangan dunia usaha. Ini hikmah dari kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Pakdes 1987 tentang penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi.

Biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti ongkos pendaftaran emisi efek, dihapuskan. Dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi.

Berkah kian melimpah setelah Pakto 88 digulirkan. Isinya tentang kebijakan pada sektor perbankan tetapi berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito.

Pakto 88 adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Indonesia di bidang perbankan. Pemberian izin usaha bank baru yang telah diberhentikan sejak 1971 dibuka kembali. Hanya dengan modal Rp10 miliar, seorang pengusaha bisa membuka bank baru.

Bankir dan pengusaha makin banyak yang membaca Bisnis Indonesia. Pada Desember 1989, pasar modal booming. Bisnis menjadi satu-satunya koran yang setia meliput aktivitas bursa. Selanjutnya media ini makin berkembang dan melebarkan sayapnya ke bisnis lain dengan mendirikan percetakan, menerbitkan buku, mengembangkan media digital hingga event organizer.

PERSAINGAN

Pada usia 33 tahun, persaingan bisnis media kian ketat. Berdasarkan data Dewan Pers, saat ini tak kurang dari 47.000 media massa di Indonesia atau terbanyak di dunia.

Dalam perkembangannya, media cetak banyak yang tutup. Koran Sinar Harapan, majalah Hai, dan tabloid Bola adalah sedikit contoh dari ratusan media cetak yang tutup.

Tantangan independensi kian berat, apalagi pada tahun politik seperti sekarang. Tahun ini bukan hanya pemanasan jelang Pilpres 2019, tapi suasana memang panas. Pers yang memiliki fungsi vertikal dan horisontal sejak lama diakui sebagai pilar demokrasi. Media massa menunjang terciptanya pemilu yang demokratis. Apakah koran bisnis mengurusi berita politik? Politik dan ekonomi tak dapat dipisahkan, seperti sekeping mata uang.

Menurut Lisa Müller (2014), pers mengemban fungsi vertikalnya dengan cara menyebarkan informasi politik yang benar dan memadai kepada publik. Informasi politik meliputi profil, visi-misi, dan program kerja para kandidat, informasi tentang partai politik, kebijakan KPU, tata laksana dan proses pemilu serta hasil pemilu.

Sejalan dengan itu, media massa berperan selaku watchdog, mengawasi agar pemilu dapat berlangsung secara bebas, jujur dan adil.

Media massa melaksanakan fungsi horisontalnya dengan cara menyediakan forum untuk menampung keanekaragaman (opini) publik. Insan pers dituntut untuk selalu mengasah kesadaran sosial dan kecerdasan politiknya agar mampu mengembangkan diskursus politik yang bernas selama proses pemilu.

Supaya dapat menjalankan kedua fungsi tersebut secara optimal, media massa perlu memiliki kebebasan tetapi harus selalu tunduk pada kode etik jurnalistik. Dalam banyak peristiwa pemilu, media massa gagal memainkan kedua fungsinya secara efektif. Tak jarang media masa justru secara gamblang memainkan peran negatif dalam proses pemilu.

Tantangan lainnya, bagaimana melindungi kebebasan berekspresi melalui media baru sambil menjaga agar kebebasan itu tidak sampai kebablasan. Sebagai industri, persaingan bisnis dan independensi adalah tantangan pers pada tahun politik ini. Selamat ulang tahun Bisnis Indonesia!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper