Bisnis.com, JAKARTA—Ekonomi Jepang terkontraksi ke level terdalamnya dalam empat tahun pada kuartal III/2018 akibat berkurangnya belanja korporasi.
Hal itu pun membawa ancaman terhadap outlook investasi pada tahun depan di saat Negeri Sakura juga harus berusaha menangani dampak dari perlambatan ekonomi global dan friksi dagang.
Data dari Kantor Kabinet menunjukkan, revisi PDB Jepang melemah ke level 2,5% secara tahunan pada periode Juli—September dari 2,8% pada kuartal sebelumnya, atau penurunan terburuk sejak kuartal II/2018.
Sementara secara kuartalan, PDB Jepang terkontraksi menjadi 0,6% pada kuartal III/2018, lebih rendah dibandingkan median ekonom yang disurvei Reuters sebesar 0,5%.
Sementara itu, konsumsi privat yang berkonribusi sebesar 60% terhadap PDB turun 0,2% pada Juli—September, dibandingkan periode tiga bulan sebelumnya.
Berkurangnya tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia tersebut pun menambahkan sinyal bahwa momentum di Asia dan Eropa telah melemah dan dampak perang dagang mulai terlihat.
Adapun pelemahan ekonomi Jepang sebagian disebabkan oleh dampak dari bencana alam yang memaksa perusahaan memangkas produksi.
Data belanja korporasi (capital expenditure/capex) yang menjadi komponen PDB tercatat anjlok 2,8% pada kuartal III/2018 dibandingkan kuartal sebelumnya, atau lebih buruk daripada perkiraan sebesar 1,6%.
Kantor Kabinet Jepang mencatat, penurunan capex yang terbesar sejak kuartal III/2009 tersebut terbebani oleh penjualan grosir, ritel, serta mesin informasi dan komunikasi.
“Capex melambat di area seperti mesin serbaguna, perangkat produksi, dan otomotif,” kata Takeshi Minami, Kepala Ekonom di Norinchukin Research Institute, seperti dikutip Bloomberg, Senin (10/12/2018).
Minami menambahkan, perusahaan kemungkinan akan mengurangi anggaran pengeluaran yang bullish atau bahkan membuat penyesuaian untuk sisa tahun fiskal 2018/2019 untuk menghadapi perlambatan ekonomi global dan friksi dagang.
Adapun risiko jika pebisnis memangkas pengeluarannya akan menjadi kekhawatiran bagi para pembuat kebijakan yang bergantung dengan capex dalam menopang pertumbuhan dan mendorong inflasi.
Sejak akhir 2016, capex telah menjadi harapan bagi perekonomian Negeri Sakura, khususnya dengan investasi di bidang otomotif dan teknologi hemat tenaga kerja (labor-saving technology).
Oleh karena itu, berkurangnya capex membuat ekonomi Negeri Sakura rentan karena terjadi bersamaan dengan melambatnya ekonomi global, meningkatnya proteksionisme dagang, dan menurunnya laba perusahaan.
Sementara ini, analis memperkirakan ekonomi Jepang dapat rebound di kuartal akhir pada tahun ini karena pabrikan mulai meningkatkan hasil produksi pascabencana.
Namun demikian, kekhawatiran tentang berlanjutnya perang dagang AS—China dikhawatirkan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi globa dan memukul Jepang yang ekonominya bergantung terhadap ekspor.
Sebagai gambaran, pada Oktober, produsen robot asal Jepang Fanuc Corp. yang memiliki ekspor besar ke pasar China telah memangkas outlook-nya untuk tahun ini karena melambatnya pengeluaran di bidang teknologi dan khawatir dengan dampak friksi dagang.