Bisnis.com, JAKARTA – Tren kenaikan suku bunga acuan dalam negeri yang diperkirakan masih berlanjut hingga tahun depan tidak akan berdampak signifikan kepada sektor properti.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual mengungkapkan sebenarnya semua sektor akan terdampak dengan adanya kenaikan suku bunga. Namun, sektor yang memiliki dampak langsung adalah properti.
"Tidak semua segmen properti [yang terdampak kenaikan suku bunga]. Hanya yang pembeliannya terkait investasi," ungkap David, Minggu (9/12).
Sementara itu, segmen properti seperti rumah tinggal dan apartemen untuk kelompok masyarakat berpenghasilan menegah ke bawah akan tetap diminati. Hal tersebut didasari oleh masih cukup besarnya backlog perumahan di dalam negeri, yakni 13 juta rumah.
Dengan demikian, pembelian properti yang sifatnya konsumsi masih akan tetap tumbuh dengan baik. Umumnya, David melihat pembelian properti dengan tujuan konsumsi tidak sensitif terhadap suku bunga.
Adapun, pembelian properti dengan tujuan investasi akan cenderung 'wait and see' pada tahun depan. Namun, dia yakin kondisi tersebut akan berangsur hilang. Pasalnya, kondisi pasar properti di dalam negeri masih cenderung sehat dibandingkan pasar di China. Sekitar 24% rumah yang dibangun China kosong, tanpa pemilik, sehingga pemerintahnya harus memberikan insentif.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter R. Abdullah mengungkapkan sektor properti memang akan terpengaruh dengan kenaikan suku bunga. Namun, dia melihat kenaikan suku bunga BI belum terlalu tinggi sehingga pengaruh kepada penyaluran kredit belum signifikan, termasuk di sektor properti.
"Penyaluran kredit masih lebih dominan dipengaruhi oleh permintaan yang ditentukan oleh ekspektasi dan kondisi makro termasuk diantaranya harga komoditas dan pertumbuhan ekonomi," ujar Piter.
Kendati demikian, dia mengkhawatirkan kemampuan kelompok masyarakat menegah bawah dalam membeli rumah. Menurutnya, kelompok ini akan menahan pembelian sehingga berpengaruh kepada permintaan kredit properti.
Oleh karena itu, BI memang harus melonggarkan kebijakan makroprudensialnya melalui instrumen LTV (loan to value). "Kalau tidak perbankan kita akan semakin sulit. Demand yang rendah dan likuditas yang sempit," tegas Piter.