Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja ekspor buah-buahan tropis Indonesia mencatatkan penurunan cukup signifikan sepanjang tahun berjalan, sebagai akibat dari masih tingginya berbagai hambatan baik dari dalam negeri maupun di negara tujuan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor buah-buahan Indonesia sepanjang Januari—Oktober 2018 hanya menyentuh US$674,05 juta alias turun 10,44% dari capaian pada rentang yang sama tahun lalu senilai US$752,64 juta.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo) Khafid Sirotuddin menjelaskan, hambatan ekspor buah dari dalam negeri adalah tidak terstandarnya kualitas buah yang dihasilkan oleh para petani.
Persoalan tersebut, menurutnya, cukup memberatkan pertumbuhan ekspor buah tropis asal Indonesia—seperti mangga, manggis, pisang, salak, dan nanas—kendati sejumlah pasar ekspor telah terbuka.
“Terkadang ketika buah-buahan Indonesia telah dikirim, ujung-ujungnya terhenti di badan karantina atau pemeriksaan kesehatan di negara tujuan. Hal ini disebabkan karena kualitas barang kita dinilai tidak sesuai dengan ketentuan di negara tujuan,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (4/12/2018).
Dia mengelaborasi, salah satu negara yang cukup ketat dalam melakukan pemeriksaan terhadap buah asal Indonesia adalah China. Buah-buahan Indonesia—khususnya manggis dan salak—seringkali ditolak untuk masuk karena dinilai memiliki kandungan pestisida yang cukup tinggi.
Terlebih, untuk produk salak, isu mengenai adanya penyakit lalat salak membuat sejumlah importir di China menunda pembeliannya dari Indonesia
Khafid mengatakan, permasalahan tersebut membuat potensi ekspor buah-buahan Indonesia ke Negeri Panda gagal termaksimalkan dengan baik. Padahal, Beijing baru saja membuka diri terhadap impor manggis dari Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun ini, sejak melakukan moratorium pada 2016 dan 2017.
Masalah serupa juga terjadi pada produk mangga di beberapa pasar tujuan ekspor seperti Singapura dan Hong Kong. Menurut Khafid, dua pasar ekspor tersebut menilai kualitas produk Indonesia belum terlalu baik, sehingga hanya sedikit yang bisa lolos untuk diimpor.
Dia melanjutkan, salah satu produk yang berpotensi ditingkatkan ekspornya adalah nanas kaleng. Pasalnya, nanas di Indonesia sedang mengalami kelebihan pasokan sebesar 7 juta ton pada tahun ini. Hanya saja, belum banyak negara yang meminati produk tersebut.
“Beberapa negara belum banyak yang tahu tentang produk nanas kaleng ini. Seperti China, yang sebenarnya potensi pasarnya besar. Maka dari itu, kami butuh promosi yang kuat untuk memacu buah-buah yang sebenarnya layak ekspor dan kelebihan pasokan ini,” lanjutnya.
Menurutnya, kemampuan produksi petani dalam negeri untuk beberapa produk andalan ekspor seperti salak, manggis dan mangga belum dapat terlalu diandalkan untuk ekspor. Permasalahannya, belum banyak petani yang melek teknologi pertanian, sehingga membuat buah-buahan Indonesia tidak dapat membukukan produksi yang konsisten dari tahun ke tahun.
“Belum lagi, tanaman buah dalam negeri kita banyak yang terjangkit oleh penyakit,” katanya.
KEBUTUHAN IMPOR
Sementara itu, di tengah masih terkoreksinya ekspor buah-buahan tropis Indonesia, kebutuhan buah-buahan impor justru terus meningkat seiring dengan perubahan minat konsumen dan belum memadainya produk subtitusi di dalam negeri.
Khafid mengatakan, buah-buahan yang diimpor Indonesia sejauh ini adalah produk yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri seperti berbagai jenis anggur, apel, dan jeruk. Kendati terdapat jenis serupa di dalam negeri, lanjutnya, kualitas dan rasa produk tersebut belum dapat diterima oleh konsumen Indonesia.
“Kita punya apel malang dan jeruk lokal, tetapi yang diminati penduduk kita yang berasal dari impor seperti apel fuji, yang biasanya berasal dari Jepang atau China atau apel Australia. Sementara itu, untuk jeruk, yang ada jeruk mandarin. Ini yang menyebabkan impor kita tetap tinggi,” jelasnya.
Faktor lain yang memicu impor buah adalah meningkatnya tren gaya hidup sehat dari masyarakat, yang dipraktikkan dengan meningkatkan konsumsi buah-buahanya.
Data BPS menunjukkan Impor buah sepanjang Januari—Oktober 2018 mencapai US$1,03 miliar, naik 10,23% secara tahunan.
Dari perspektif pengusaha produk makanan dan minuman (mamin) berbasis buah, Managing Director PT Sewu Segar Primatama Richard Anthony mengatakan, untuk memproduksi minuman berjenis jus perah dingin (cold pressed juice), perusahaannya membutuhkan buah impor seperti apel fuji dan almond impor.
“Porsi buah impor yang kami butuhkan untuk setiap aktivitas produksi kami sebesar 15%. Sejauh ini kami masih impor karena, misalnya jika kami ambil apel malang untuk gantikan apel fuji, rasa produk yang dihasilkan akan berbeda jauh. Takutnya ini akan mengganggu minat konsumen,” katanya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Buah dan Sayuran Indonesia (Aesbi) Komar Muljawibawa berpendapat, sejumlah negara tujuan ekspor sebenarnya telah membuka diri terhadap produk buah tropis asal Indonesia. Misalnya saja, kawasan Eropa.
“Namun, masalahnya ada di sertifikasi produk kita. Eksportir produk buah asal Indonesia—seperti pisang, salak, manggis dan mangga—belum banyak yang mampu memenuhi aspek legalitas kesehatan yang diakui di negara tujuan ekspor. Ini jadi hambatan tersendiri ketika di badan karantina negara tujuan,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah meningkatkan sosialisasi kepada petani terkait dengan penjagaan kualitas produk yang dihasilkan. Pasalnya, cara itu diyakini akan membantu keberterimaan produk buah-buahan Indonesia di luar negeri.
Perkembangan Ekspor-Impor Buah Indonesia (US$ miliar)
-------------------------------------------------------------------------
Periode Ekspor Impor
-------------------------------------------------------------------------
2013 0,41 0,66
2014 0,65 0,78
2015 0,77 0,66
2016 0,71 0,84
2017 0,93 0,91
Januari—Oktober 2017 0,75 0,94
Januari—Oktober 2018 0,67 1,03
-------------------------------------------------------------------------
Sumber: BPS, 2018