Bisnis.com, JAKARTA -- Perang dagang telah membuat beberapa indikator ekonomi China melambat. Tensi yang memanas antara China dan Amerika Serikat (AS) itu pun berpotensi memberikan beberapa dampak ke perekonomian Indonesia.
Dari data Biro Statistik Nasional (NBS) China, pertumbuhan ekonomi negara yang dipimpin Xin Jinping itu sebesar 6,5% pada kuartal III/2018.
Persentase pertumbuhan itu lebih rendah ketimbang kuartal II/2018 yang sebesar 6,7%. Realisasi itu juga lebih rendah dari ekspektasi pasar yang memperkirakan bisa berada di level 6,6%.
Lalu, data Manufacturing Purchasing Manager Index (PMI) China pada Oktober 2018 juga melambat menjadi 50,2 dibandingkan 50,8 pada September 2018.
Perlambatan PMI China sudah mendekati level terendah sejak Agustus 2016 yang sempat sentuh 49.
Jika, PMI berada di level 50 ke atas berarti manufaktur sedang ekspansif, sedangkan kalau di bawah 50 berarti sedang kontraksi.
Baca Juga
Nah, perlambatan ekonomi China ini dinilai sudah mendekati batas bawah 50 sehingga ada potensi menuju kontraksi.
Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) juga berencana mengumumkan tarif impor lanjutan untuk China pada awal Desember 2018.
Hal itu akan direalisasikan jika diskusi Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping menemui jalan buntu.
Bila perang dagang antara AS dengan China ini terus berlarut-larut, perekonomian Indonesia berpotensi menerima beberapa dampak negatifnya.
Ekonom Institute of Development Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, perang dagang antara China dengan AS bisa berimbas kepada penurunan ekspor Indonesia.
"Terutama, bahan mentah dan olahan primer yang China dan AS. Posisi Indonesia sebagai pemasok bahan mentah memang kurang diuntungkan," ujarnya kepada Bisnis pada Rabu (31/10).
Selain itu, ada potensi barang-barang China yang kena bea masuk tinggi seperti besi, baja, dan sebagainya, ke Indonesia.
Perang Dagang dan Daya Saing Produk Domestik
Bhima menuturkan, China memang membantah telah melakukan devaluasi yuan, tetapi nilai tukarnya terus melemah. Hal itu membuat produk China lebih murah di pasar internasional.
"Kondisi ini membuat pelaku industri domestik bisa makin sulit berkompetisi dengan barang impor dari China," tuturnya.
Sejak berada di level terkuatnya yakni 6,27 yuan per dolar AS pada 11 April 2018. Nilai tukar mata uang China itu terus merosot sebesar 11,16% menjadi 6,97 yuan per dolar AS.
Bhima menambahkan, polemik perang dagang ini juga menyebabkan volatilitas yang tinggi pada pasar keuangan.
"Pelaku pasar berpotensi menghindari emerging market untuk jangka pendek. Imbasnya, rupiah berpotensi mendapatkan tekanan terus," tambahnya.
Dalam catatan Bisnis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui ada tantangan perekonomian dunia pada tahun depan. Sumbernya berasal dari Amerika Serikat (AS) yang melakukan normalisasi kebijakan moenter.
"Ditambah, kebijakan fiskal yang pro-cyclical yang menyebabkan kenaikan suku bunga dan imbal hasil surat berharga AS," ujarnya.
Sri Mulyani pun menyoroti beberapa konflik global yang menjadi tantangan ekonomi Indonesia seperti, perang dagang AS dengan China, ketidakpastian skenario Brexit, dan beberapa ketegangan geopolitik di belahan dunia lainnya.
"Dengan meningkatnya risiko ekonomi global, Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian dalam menjaga perekonomian global," ujarnya.
International Monetary Fund (IMF) juga sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,7% dibandingkan 3,9% pada proyeksi sebelumnya.