Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah upaya pemerintah untuk memacu ekspor, para eksportir mulai merasa terancam karena melihat Indonesia saat ini semakin menjadi sasaran empuk kebijakan trade remedies dari negara lain.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, saat ini negara-negara anggota World Trade Organization (WTO) kian agresif melakukan kebijakan proteksionisme. Tren itu terjadi setelah dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
“Banyak negara jadi ikut-ikutan memberlakukan proteksi perdagangan, baik secara tarif mapupun nontarif. Kondisi ini menjadi keprihatinan kami akhir-akhir ini, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang serba tidak pasti,” ujarnya, Selasa (30/10/2018).
Dia menambahkan, situasi semakin runyam lantaran industri domestik tidak terlindungi dengan baik. Pengusaha menilai pemerintah tidak terlalu aktif memberlakukan trade remedies kepada negara lain. Alhasil, industri domestik kewalahan ketika digempur produk impor.
“Sejauh ini yang cukup aktif baru kebijakan safeguards yang memang masih diizinkan oleh WTO. Namun, untuk kebijakan bea masuk antidumping [BMAD] atau antisubsidi masih rendah sekali aksi kita. Padahal, kebijakan itu sangat perlu di tengah aksi curang beberapa negara seperti China,” lanjutnya.
Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) Yerry mengatakan, produk ekspor besi dan baja RI cukup banyak dihalangi di beberapa negara, seperti AS. Namun, kondisi sebaliknya tidak terjadi ketika Indonesia digempur produk serupa dari China.
“Padahal, kami sudah mengajukan permintaan pemeriksaan untuk dilakukan pengamanan perdagangan sejak tahun lalu. Namun, hingga saat ini masih belum muncul tindakan,” paparnya.
PROSES BIROKRASI
Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Bachrul Chairi mengatakan, pemberlakukan trade remedies di Indonesia lambat karena panjangnya proses dari pemeriksaan hingga penerbitan keputusan. Rentang proses penerbitan keputusan rata-rata di atas 18 bulan.
Di sisi lain, mekanisme pemeriksaan dan penetapan keputusan masih dilakukan terpisah yakni oleh Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan.
“Padahal di negara lain seperti Uni Eropa dan Thailand, mekanisme itu dilakukan oleh satu otoritas dan prosesnya cepat,” katanya.
Panjang dan lamanya proses penetapan tindakan BMAD maupun antisubsidi tersebut, kata Bachrul, menimbulkan keengganan dunia usaha untuk mengajukan permohonan ke pemerintah. Hal itu setidaknya tercermin dari inisiasi penyelidikan KADI yang terus turun dari 2014 sebanyak 12 penyelidikan menjadi hanya 1 pada 2017 dan nihil pada 2018.
Untuk itu, Bachrul menyarankan agar pemerintah membentuk satu otoritas yang masuk dalam struktural kementerian setara direktorat jenderal, yang mengakomodasi perlindungan dan peningkatan perdagangan Indonesia.
Langkah tersebut dinilainya akan menjadi solusi melindungi industri dalam negeri di tengah agresifnya pemberlakuan trade remedies di negara lain.
Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati membenarkan bahwa pengenaan trade remedies oleh negara lain ke Indonesia terus meningkat dalam 1 dekade terakhir.
Menurutnya, upaya banding dan perlawanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pun tidak seimbang dengan derasnya tindakan pengamanan perdagangan yang diberlakukan negara mitra ke Tanah Air.
“Banyak negara yang sengaja menggunakan trade remedies secara masif dan cenderung abusive ke negara lain, termasuk ke Indonesia. Kecenderungannya pula negara mitra tidak lagi memperhatikan aspek perdagangan yang adil, pokoknya melindungi industri dalam negeri,” katanya.
Dia mencontohkan kasus pengenaan BMAD dan antisubsidi kepada produk certain coated paper dan certain uncoated paper asal Indonesia oleh Amerika Serikat (AS). Dalam kasus ini, Indonesia dituding melakukan subsidi pada dua produk tersebut lantaran melakukan pelarangan ekspor kayu gelondongan (log).
Menurutnya, upaya mengendalikan ekspor barang mentah tersebut diharapkan Pemerintah RI dapat memacu industri olahan di dalam negeri agar ketika diekspor dapat berbentuk produk bernilai tambah.
“Namun, AS menilai, kebijakan itu merupakan bentuk subsidi di dalam negeri, lantaran harga kertas jadi lebih murah karena pasokan kayu berlebihan di dalam negeri. Hal-hal serupa banyak terjadi terutama di produk baja, kimia dan tekstil. Hal itu membuat para pengusaha mengalami kesulitan dalam berbisnis.”
Di sisi lain, sambungnya, pemerintah Indonesia juga masih kesulitan untuk melakukan pembelaan ketika RI dikenai trade remedies. Pasalnya, selain keterbatasan personel (seperti hanya ada dua pengacara spesialis hukum perdagangan internasional asal RI), banyak pengusaha dan pejabat RI yang tidak paham hukum perdagangan dunia.
Penggunaan Instrumen Trade Remedies oleh Indonesia (1995—2018)
--------------------------------------------------------
Jenis Jumlah
--------------------------------------------------------
Antidumping (AD) 98
Safeguards (SG) 28
Technical barriers to trade (TBT) 121
Sanitary and phytosanitary (SPS) 122
Countervailing duties (CV) 0
Special safeguards (SSG) 0
--------------------------------------------------------
Sumber: Kemendag & Kadin, diolah
Penggunaan Instrumen Trade Remedies oleh Anggota WTO (1995—2018)
-----------------------------------------------------------------------------------------
Negara SPS TBT AD CV SG SSG Total
-----------------------------------------------------------------------------------------
Amerika Serikat 3.019 1.590 589 198 12 496 5.904
China 1.232 1.271 254 9 2 0 2.768
Brasil 1.436 954 375 12 4 0 2.781
Uni Eropa 690 1.210 457 68 0 71 2.496
Kanada 1.210 696 203 60 3 0 2.172
Korea Selatan 617 881 108 0 4 75 1.585
Jepang 601 835 14 1 1 173 1.625
Arab Saudi 374 1.091 5 0 3 0 1.473
India 223 130 799 3 43 0 1.198
Meksiko 356 611 157 10 2 0 1.136
Total 175 negara 17.737 25.261 4.816 430 353 652 49.249
-----------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: WTO, 2018