Bisnis.com, JAKARTA — Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) memperkirakan akan lebih banyak lahan perkebunan kelapa sawit milik korporasi yang terkena evaluasi oleh pemerintah.
Ketua SPKS Mansuetus Darto mengatakan dalam sepengetahuannya, dari lahan perkebunan sawit seluas 2,3 juta hektare (ha) yang akan dievalusi oleh pemerintah belum ada yang teridentifikasi milik petani swadaya.
Pasalnya, selama ini tidak ada pendataan bagi petani dalam kawasan hutan. Dengan demikian, belum ada data konkret mengenai luasan lahan kebun sawit milik petani swadaya.
"Menurut saya, sebagian besar [lahan perkebunan yang akan dievalusi] adalah milik korporasi. Petani ada tapi hanya sebagian. Kalau boleh saya perkirakan paling sekitar 10% [dari total evaluasi]," sebutnya kepada Bisnis, Jum'at (19/10/2018).
Dari sisi petani sawit swadaya, lanjut Mansuetus, yang harus diperjelas adalah sanksi apa yang akan diterapkan setelah evaluasi selesai dilaksanakan. Misalnya, apakah petani akan dibebaskan atau dipenjara.
Namun, secara garis besar pihaknya mendukung langkah pemerintah melakukan evaluasi. Menurutnya, hal tersebut sudah mendesak karena penyelesaian legalitas dan pendataan petani kelapa sawit yang ada dalam kawasan hutan dan Area Penggunaan Lahan tidak pernah dilakukan.
"Instruksi Presiden (Inpres) moratorium mendesak agar ini dilakukan pendataan," tegas Mansuetos.
Evaluasi tersebut tercantum dalam Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. SPKS menegaskan mereka memerlukan keseriusan kementerian terkait dan pemerintah daerah (Pemda) setempat yang menjadi tulang punggung pelaksanaan Inpres itu.
Hal lain yang mesti diperjelas adalah pendanaan untuk mendukung moratorium tersebut. Mansuetus menilai masih belum jelas siapa yang akan mendanai implementasi moratorium di lapangan, khususnya bagi peningkatan produktivitas petani dan revitalisasi kelembagaan.
Apalagi, Pemda dipandang memiliki dana yang sangat terbatas. Di samping itu, belum ada rencana khusus untuk perkebunan rakyat.
Moratorium juga dinilai belum memberikan peran kepada perusahaan untuk meningkatkan produktivitas petani kelapa sawit di sekitar konsesi.
"Kami berharap agar Inpres ini bisa mendorong perusahaan besar bekerja sama lansung dengan petani swadaya agar mereka memperoleh harga yang baik. Sebab, selama ini mereka selalu menjual ke tengkulak dengan perbedaan harga antara Rp400 per kg-Rp500 per kg," paparnya.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan berencana membenahi seluruh perkebunan supaya memenuhi standar di dunia internasional sebagai perkebunan berkelanjutan. Sebagai langkah awal, pemerintah akan mendata dan mengevaluasi seluruh aktivitas perkebunan yang ada, baik yang sudah mengantongi izin maupun yang masih dalam proses.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan evaluasi perizinan ini dilakukan sesuai dengan semangat reformasi agraria.
"Jadi, semuanya itu kami mau dudukkan termasuk standarnya, Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) supaya kita bisa mengatakan ke dunia internasional. Hei, kita ini memenuhi standar perkebunan kita," jelasnya, Jumat (19/10).
Pembenahan itu termasuk pembenahan bagi perkebunan skala kecil, menengah, dan besar. Lalu, salah satu perkebunannya adalah perkebunan kelapa sawit.