Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Penyebab Harga Beras di Indonesia Mahal

Tingginya harga beras di Indonesia akibat rantai distribusi yang panjang, sejatinya dapat direduksi melalui skema lelang komoditas yang diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti).
Aktivitas pedagang beras lokal di Pasar Sentral Antasari Banjarmasin, Kamis (20/9/2018)./Bisnis-Arief Rahman
Aktivitas pedagang beras lokal di Pasar Sentral Antasari Banjarmasin, Kamis (20/9/2018)./Bisnis-Arief Rahman

Bisnis.com, JAKARTA — Tingginya harga beras di Indonesia akibat rantai distribusi yang panjang, sejatinya dapat direduksi melalui skema lelang komoditas yang diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti).

Sekretaris Jenderal Dewan Beras Nasional Maxdeyul Sola mengatakan, dari tahun ke tahun, persoalan rantai distribusi beras adalah pemicu utama harga komoditas pangan pokok itu selalu tinggi. Padahal, pemerintah sudah menyediakan instrumen untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

“Kita punya Bappepti, yang mengadvokasi dan memayungi perusahaan lelang komoditas. Lelang komoditas ini sebenarnya dapat dilakukan untuk beras,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (17/10/2018).

Melalui skema lelang komoditas tersebut, lanjutnya, petani atau koperasi petani dan perusahanan penggilingan dapat langsung melakukan penawaran ke calon pembeli yakni distributor atau pengecer beras, melalui perusahaan lelang.

Skema tersebut juga dinilai bisa memberikan jaminan kepada petani dan perusahaan penggiling maupun pengecer beras untuk mendapatkan harga yang bersaing.

“Selama ini biaya distribusi beras tinggi, karena harus melalui berbagai tingkat tengkulak mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Dengan adanya sistem lelang ini, biaya distribusi beras dari petani atau penggilingan hingga konsumen bisa direduksi 30% karena mengurangi jalur distribusi ke tengkulak yang panjang,” katanya.

Hanya saja, menurut Maxdeyul, skema tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal lantaran Bappebti kurang agresif dalam mengenalkan sistem lelangnya ke masyarakat. Padahal, Bappepti merupakan badan yang berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan, yang bertanggung jawab mengatasi masalah fluktuasi harga bahan pangan pokok tersebut.

Di sisi lain, dia menyebut, Kemendag dan Bappebti pada Desember 2016 sebenarnya telah merilis sistem pasar lelang komoditas (SPLK) terpadu yang berbasis internet dan terintegrasi dengan sistem resi gudang (SRG).

Dalam rencana pelaksanaanya, PT Pos Indonesia (Persero) ditunjuk sebagai pengelola gudang SRG dan penyelenggara pasar lelang daring yang diawasi oleh Bappepti. Sementara itu, PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) bertugas sebagai lembaga kliring dan penjaminan.

Namun, skema tersebut pun belum dapat dijalankan secara maksimal.

Padahal, sebut Maxdeyul, SRG semestinya bisa diharapkan menjadi instrumen bagi petani untuk menunda penjualan saat panen raya atau ketika harga komoditas berada pada titik terendah.

Adapun, SPLK merupakan sarana pemasaran komoditas yang transparan, sehingga dapat memotong mata rantai perdagangan menjadi lebih ekonomis dan efisien.

Kepala Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi berpendapat, panjangnya rantai distribusi beras di Tanah Air menyebabkan harga beras tinggi dan merugikan beberapa pihak seperti petani dan konsumen.

Menurutnya, mata rantai distribusi yang pertama adalah saat petani akan menjual gabah yang sudah dipanen kepada tengkulak atau pemotong padi, yang akan mengeringkan padi dan menjualnya kepada pemilik penggilingan atau melalui tengkulak di berbagai tingkat, mulai dari kelurahan hingga kecamatan.

Setelah padi digiling menjadi beras, pemilik penggilingan akan menjual beras tersebut ke pedagang grosir berskala besar yang memiliki gudang penyimpanan.

Pedagang grosir berskala besar  tersebut akan kembali menjual beras ke pedagang grosir berskala kecil di tingkat provinsi atau kepada pedagang grosir antarpulau.

“Mulai dari tingkat tengkulak, penggilingan hingga pedagang grosir ini, margin laba yang didapatkan dari beras bisa berkisar antara 60%—80% per kilogram. Belum lagi di tingkat pengecer kecil, yang margin labanya di kisaran 1%—2% dari harga beras yang didapatnya,” jelasnya. 

Oleh karena itu, Hizkia menilai tidak mengherankan jika harga beras di Indonesia saat ini masih menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.

Berdasarkan data CIPS, rerata harga beras di Indonesia saat ini adalah sekitar Rp12.560/kg, lebih tinggi dari Singapura dengan Rp11.635/kg, Malaysia Rp9.183/kg dan Thailand Rp7.419/kg.

Sayangnya, ketika dihubungi oleh Bisnis untuk dimintai tanggapan mengenai permasalahan tersebut, Kepala Bappebti Kemendag Wisnu Wardana tidak merespons.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper