Bisnis.com, JAKARTA — Besaran kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2019 yang ditetapkan sebesar 8,03%—di tengah kondisi ekonomi saat ini—disambut baik oleh pelaku usaha, tetapi di sisi lain tetap menuai protes dari kalangan pekerja.
Kenaikan UMP menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (17/10/2019). Berikut laporannya.
Para pelaku usaha menilai besaran kenaikan UMP pada tahun depan relevan dengan kondisi ekonomi yang tengah dihadapi, sementara para pekerja menganggap angka yang ditetapkan terlalu rendah dan berisiko mengancam daya beli.
Ketetapan UMP 2019 tertuang dalam Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan Nomor B.240/M.NAKER/PHI9SK-UPAH/X/2018 tertanggal 15 Oktober 2018.
Besaran kenaikan upah minimum sebesar 8,03% mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, di mana formulasi penghitungan didasarkan pada UMP tahun berjalan dikalikan dengan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Inflasi nasional ditetapkan sebesar 2,88% dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,15%. UMP 2019 harus ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur secara serentak pada 1 November 2018.
“Rumusan UMP tahun depan sudah sesuai dengan formulasi,” ujar Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam kepada Bisnis, Selasa (16/10/2018).
Menurutnya, kenaikan upah minimum tahun depan cukup berat karena saat ini para pelaku usaha menghadapi kenaikan biaya akibat depresiasi rupiah. Oleh karena itu, pengusaha berharap pemerintah provinsi tidak memutuskan kenaikan upah di daerah di atas angka 8,03%.
Berdasarkan catatan Bisnis, kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03% itu merupakan yang terendah sejak 2015. Kenaikan UMP pada 2017 ke 2018 tercatat sebesar 8,71%, dari 2016 ke 2017 sebesar 8,25%, dan dari 2015 ke 2016 sebesar 11,5%.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan Keputusan UMP 2019 ini telah sesuai dengan ketentuan dan komitmen antara dunia usaha. “Kondisi ini memberikan kepastian usaha sekaligus gambaran keseimbangan antara pengusaha dan pekerja,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang yang juga anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta dari kalangan pengusaha berpendapat, ketentuan UMP 2019 merupakan bentuk keseriusan pemerintah untuk memonitor proses penetapan upah di seluruh provinsi agar tidak menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. “Kami dari pelaku usaha sangat mengapresiasi penetapan ini.”
Budiarto Tjandra, Ketua Pengembangan Sport Shoes & Hubungan Luar Negeri Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), mengapresiasi penetapan upah dengan formula berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. “Kalau dulu kan naiknya bisa gila-gilaan. Dengan PP tersebut, kami sangat dukung,” ujarnya.
Kendati demikian, Tjandra menekankan pelaku industri masih terbebani oleh upah sektoral di beberapa daerah. Menurutnya, untuk industri padat karya kenaikan UMP tidak perlu ditambah dengan upah sektoral. “Untuk upah sektoral, ada negosiasi dengan serikat pekerja, ini menjadi grey area.”
Adapun, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan bantalan atas kondisi ekonomi saat ini, yaitu berupa unemployment benefit dan skill development fund yang diambil dari program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian di BPJS Ketenagakerjaan.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berpendapat, besaran kenaikan UMP tahun depan jauh lebih bagus dibandingkan dengan ketika kenaikan rerata upah minimum sebesar 20% sebelum adanya PP No. 78/2015.
Namun, angka kenaikan UMP 2019 masih terbilang tinggi bila dibandingkan dengan produktivitas pekerja yang masih berada di sekitar 3%. “Idealnya adalah kenaikan maksimal, produktivitas ditambah 3% menjadi 6%,” ujar Fithra.
DAYA BELI
Di lain pihak, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal bersikukuh menolak kenaikan upah minimum 2019 sebesar 8,03%. Kenaikan upah minimum yang terlalu rendah membuat daya beli buruh makin menurun.
“Kenaikan upah yang hanya 8,03% tidak akan memberikan manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil di tengah kenaikan harga barang saat ini,” tuturnya.
Menurut Said, ketentuan PP No. 78/2015 tentang Pengupahan mengakibatkan kembalinya rezim upah murah serta menghilangkan hak berunding serikat buruh untuk menentukan upah minimum.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy menuturkan, mekanisme penentuan UMP melalui PP No. 78/2015 merugikan tenaga kerja karena seharusnya penghitungan upah tersebut melihat dari segi standar kebutuhan hidup layak (KHL) penduduk per daerah dan tidak bisa dipukul rata antardaerah.
“Keputusan ini terkesan tersentralisasi dan tidak melihat kondisi lapangan. Pada kenyataannya, biaya hidup tiap daerah yang ada di Indonesia berbeda beda dan tidak bisa disamaratakan.”
Senada, Direktur Riset Core Indonesia Mohammad Faisal menuturkan besaran kenaikan UMP ini semestinya mempertimbangkan faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi di provinsi yang bersangkutan.
“Kalau secara nasional memang pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi sekitar 3% jadi kira2-kira memang di kisaran 8%. Namun, inflasi dan pertumbuhan ekonomi tiap provinsi sangat bervariasi, jadi kenaikan UMP seharusnya sesuai dengan kondisi spesifik per daerah.”
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak berharap ketetapan surat edaran terkait besaran kenaikan UMP 2019 ini dapat diterima sejumlah pihak yakni pengusaha dan serikat pekerja.