Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah janji pemerintah untuk mendiversifikasi pasar ekspor nonmigas ke mitra dagang nontradisional, laju pengiriman barang ke Afrika dan Timur Tengah justru terkoreksi cukup tajam sepanjang tahun berjalan.
Pada tahun ini, Kementerian Perdagangan menargetkan kenaikan ekspor nonmigas ke sejumlah negara di kawasan tersebut, seperti Mesir yang ditargetkan tumbuh 9%, Afrika Selatan 1,5%, Uni Emirat Arab (UEA) 1,3%, dan Arab Saudi 3, 08%.
Pada kenyataannya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang Januari—Agustus 2018, ekspor nonmigas ke Arab Saudi terkoreksi 13,31% secara year on year, ke Mesir merosot 12,78%, ke UEA turun 6,38%, serta ke Afrika Selatan tergelincir 6,76%.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengakui adanya penurunan ekspor ke mitra dagang nontradisional, yang selama ini digadang-gadang menjadi calon tulang punggung kinerja perdagangan nonmigas RI.
Bagaimanapun, dia meyakini, dengan adanya peningkatan upaya kerja sama perdagangan dan ekonomi ke negara-negara tersebut, kinerja ekspor nonmigas Indonesia akan terkatrol pada tahun depan.
“Memang, kami membuat target kenaikan ekspor 2018 ke negara-negara itu karena melihat capaian positif pada tahun lalu. Namun, tahun ini ada beberapa hal terkait dengan hambatan dagang ke sana, sehingga pada tahun ini kami agresif menjalin kerja sama dagang dan ekonomi ke Afrika dan Timur Tengah,” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (3/10/2018).
Menurutnya, upaya menjalin kerja sama dagang dan ekonomi tersebut telah dilakukan dengan Mozambique, Tunisia, dan Maroko dengan menjalin pakta preferential trade agreement (PTA) pada Juni tahun ini.
Selain itu, Kemendag tengah menyusun kerja sama dagang serupa dengan Kenya, Nigeria, Afrika Selatan dan negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (gulf cooperation council/GCC) yang ditargetkan mulai dibahas tahun ini.
“Kerja sama dagang itu nanti akan menjadi solusi untuk memperluas pasar Indonesia di negara nontradisional tetapi potensial seperti Timur Tengah dan Afrika.”
Saat dihubungi terpisah, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menjelaskan, sulitnya mencapai target eskpor ke mitra dagang nontradisional disebabkan oleh kurang kondusifnya iklim ekspor ke kawasan tersebut.
“Tidak stabilnya ekspor ke kawasan itu paling besar disebabkan oleh tingginya ongkos logistik dan rute pengiriman barang yang panjang. Eksportir RI akhirnya harus berupaya lebih besar, begitu pula risiko yang ditanggungnya,” katanya.
Di sisi lain, eksportir Indonesia belum banyak yang memiliki mitra dagang resmi yang secara konstan memasok barang-barang dari RI. Alhasil, ekspor yang dilakukan ke kawasan tersebut cenderung situasional atau tergantung permintaan.
Hal itu diamini oleh Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang. Pasalnya, saat ini permintaan minyak kemasan dari Afrika dan Timur Tengah cukup besar.
“Namun, suplai minyak goreng kemasan dari Indonesia ke Afrika dan Timur Tengah cenderung terbatas karena jarang ada pengusaha yang mau main di produk itu. Sebab, pungutan ekspornya dari Indonesia saja sudah terbilang mahal ,” ujarnya.
Untuk itu, dia berharap pungutan ekspor pada sejumlah produk turunan minyak kelapa sawit—terutama minyak goreng kemasan—dapat dipangkas. Pasalnya, pangsa pasar ekspor minyak goreng curah mulai terbatas.