Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Pemerintah China memangkas bea masuk (BM) sejumlah komoditas diyakini hanya akan berdampak minim bagi kinerja ekspor Indonesia.
Seperti dikutip dari Reuters, China akan memotong BM atas produk tekstil, baja, logam, peralatan listrik, kayu dan kertas serta 1.500 produk lain mulai 1 November 2018. Produk kayu dan kertas tarifnya impornya dipangkas menjadi 5,4% dari 6,6%. Sementara itu, produk lain seperti logam, tekstil, baja dan peralatan listrik tarif impornya dipangkas menjadi 8,4% dari 11,5%.
Kebijakan itu merupakan kelanjutan dari strategi Beijing, yang mengoreksi tarif impor berbagai barang konsumen seperti pakaian, kosmetik, peralatan rumah tangga, dan produk kebugaran pada Juli 2018. Kala itu, BM produk konsumsi di China dipangkas menjadi 7,8% dari 10,5%.
Dalam keterangan resminya, Kementerian Keuangan China menyebutkan, kebijakan itu diambil lantaran meningkatnya ketegangan di sektor perdagangan dengan beberapa mitra dagang strategis, seperti Amerika Serikat. Di sisi lain, kebijakan itu sekaligus membuktikan Negeri Panda lebih membuka diri kepada asing.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda berpendapat, pemangkasan BM China akan menjadi peluang tersendiri bagi para eksportir Indonesia.
“Biaya ekspor mineral tentu akan menjadi lebih murah, karena selama ini ekspor terbesar RI ke China adalah produk mineral. Di sisi lain, kami selama ini terus menawarkan produk-produk nontradisional supaya ekspor kita terungkit ke China. Jadi ini tentu menjadi insentif tersendiri,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (2/10/2018).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batu bara ke China sepanjang Januari— Agustus 2018 mencapai US$16,59 miliar. Capaian itu melonjak 29,49% dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$12,70 miliar.
Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Aryan Warga Dalam mengatakan, pemangkasan BM oleh China tersebut relatif terbatas. Bagaimanapun, dia meyakini kebijkaan itu akan tetap menjadi insentif tersendiri bagi produsen komoditas kertas RI. Pasalnya, Negeri Panda merupakan salah satu negara tujuan ekspor pulp dan kertas Indonesia, yang mencapai 10% dari total ekspor nasional.
“Tentu ini menjadi kesempatan dan insentif bagi kami untuk meningkatkan ekspor ke negara tersebut. Terlebih di negara lain, hambatan dagangnya cukup besar seperti ke AS,” katanya.
Sekadar catatan, ekspor pulp dan kertas RI sepanjang Januari—Agustus 2018 ke China mencapai US$475 juta. Namun, capaian tersebut turun 49% dari periode yang sama tahun lalu.
Kondisi berbeda terjadi dengan sektor besi dan baja. Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Besi dan Baja (IISIA)Yerry menyebutkan, kebijakan pemangkasan BM oleh China itu tidak akan berdampak banyak terhadap produsen asal Indonesia, terutama yang bergabung dengan IISIA.
Dampak terbesar, menurutnya, hanya akan dirasakan oleh produsen baja nirkarat (stainless steel) asal Kawasan Industri Morowali.
“Kita malah kebanjiran impor baja dari China. Sementara itu, yang kita ekspor ke sana pun kebanyakan baja nirkarat yang dari Morowali. Itu saja eksportirnya perusahaan asal China yang baru-baru ini juga terancam karena diduga melakukan praktik dumping ke negaranya,” katanya.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Putri K. Wardhani. Dia mengungkapkan, hambatan dagang nontarif di China masih sangatlah tinggi. Alhasil, penetrasi produk kosmetika asal Indonesia relatif terbatas sekalipun bea masuknya dipangkas.
“Aturan dari semacam BPOM China sangatlah tinggi. Belum lagi proses perizinan edarnya sangat rumit dan mahal. Satu produk kosmetika, tarif perizinannya mencapai Rp1 miliar. Jadi kami masih belum melihat adanya potensi ke China,” katanya.