Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Kelautan dan Perikanan berharap perbaikan perizinan khususnya di sektor perikanan tangkap bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kontribusi pajak dari sektor perikanan.
Direktur Intelijen Perpajakan Direktorat Jenderal Kementerian Keuangan Peni Harjito menyebutkan tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domesti bruto (PDB) sektor perikanan Indonesia saat ini tidak lebih besar dari 1%. Padahal rata-rata tax ratio nasional saat ini menurutnya mencapai 11%.
“Kalau industri ikan yang ada di bawah 1%. Oleh karena itu, masih banyak potensi pajak yang bisa kita gali dari industri perikanan... PDB daripada perikanan katakanlah Rp300 trilun pembayarannya pajak masih satu koma sekian persen,” katanya pekan lalu.
Ditjen Pajak mencatat bahwa sepanjang 2017 pembayaran pajak dari sektor perikanan ini hanya berkisar di antara Rp1,2-1,3 triliun dari sekitar 6.000 wajib pajak yang tercatat di sektor perikanan.
Menurutnya, dengan adanya perbaikan perizinan khususnya pelaoran hasil usaha dan ukuran kapal yang sebenarnya oleh pelaku industri akan terjadi peningkatan kontribusi pajak dari sektor ini.
“Dengan kerja sama ini sebetulnya tren dari sisi peningkatan pembayaran pajaknya ada. [Besaran] peningkatannya mesti saya cek dulu,” tambahnya.
Oleh karena itu, dia berharap dengan adanya kerja sama yang erat anatara pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan, penerimaan pajak dari sektor ini bisa turut meningkat.
Menilik ke belakang, kecilnya penerimaan pajak di sektor perikanan ini bukan hanya saat ini. Bisnis pada 2017 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga pernah juga pernah memberikan catatan terkait kecilnya rasio pajak sektor ini.
Pada 2015, katanya, penerimaan pajak sektor perikanan hanya mencapai Rp986,1 miliar atau 0,34% dari PDBnya. Jika dibandingkan ddengan perekonomian nasional, tax rationya hanya 0,01%.
Hal yang sama pun diutarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dia menyebutkan, berdasarkan peroses perizinan kapal di atas 30 GT yang ada di bawah pengawasan pemerintah pusat, pihaknya menemukan adanya sejumlah ketidakwajaran atas laposan hasil usaha maupun dokumen kapal yang diterima.
Salah satu masalah yang ditemukan adalah terjadinya mark down ukuran kapal dan jumlah hasil tangkapan. Padahal, kedua hal ini menjadi salah satu indikator penerimaan pajak yang bisa diperoleh dari sektor perikanan. Belum lagi, adanya temuan pemilik kapal yang tidak sesuai antara yang tercatat dalam dokumen dan pemilik aslinya.
“Lalu, banyak antara pemilik sebenarnya dan nama di atas kertas itu beda, tidak boleh. Dokumen harus benar, harus sama. Supaya nanti di sini, bapak dari pajakpun bisa masuk dengan betul. Kita juga malu, prestasinya sudah seperti itu tetapi pos kurva pajak perikanan ini masih di bawah 1%,” cetusnya.
Dia memberikan contoh bahwa dari analisis pajak atas 11 kapal yang dilakukan secara acak, selisih pendapatan yang ditemukan bisa mencapai Rp15 miliar. Sementara itu, jumlah kapal penangkap ikan yang menggunkan cantrang saja, khususnya cantrang yang berada di Pulau Jawa mencapai kurang lebih 1.600 unit.
“Cantrang kan sudah kita verifikasi semua. Bayangkan cantrang di Jawa ada 1.600. Kalau dibagi 11 berarti ada [lebih dari]100 dikali Rp15 M. [lebih dari] Rp1.5 triliun selisihnya,” katanya.