Bisnis.com, JAKARTA—Realisasi perluasan ladang garam baru mencapai sekitar 4.000 hektare (Ha) dari target pengupayaan 10.000 Ha untuk mendukung swasembada garam konsumsi pada 2019.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Agung Kuswandoro menyebutkan seluas 4.000 Ha lahan tersebut di antaranya berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
“[Tahun ini] ada [tambahan] sekitar 10.000 Ha. Sebagian sudah panen sebagian masih proses. Yang sudah real [sekitar] 4.000 Ha,” katanya usai menghadiri Pencanangan Percepatan Rehabilitasi Mangrove, Kamis (20/9/2018).
Dengan bertambahnya realisasi 4.000 Ha ladang garam baru, maka tahun ini diprediksi Indonesia memiliki 35.000 Ha ladang garam yang terdiri atas 26.000 Ha ladang garam rakyat, 5.000 Ha lahan milik PT Garam.
Lebih lanjut, Agung menyebutkan, pihaknya akan berusaha semaksimal mugkin untuk menyelesaikan ekstensifikasi 10.000 Ha lahan garam tersebut pada tahun ini. Namun, hal tersebut tidak mudah. Pasalnya, di antara lahan-lahan yang dibidik, sebagian diketahui merupakan milik masyarakat, tanah ulayat, dan bahkan ada tanah yang sudah diploting untuk kebutuhan lain seperti keperluan transmigrasi.
Untuk itu, kalau pun tidak bisa terealisasi tahun ini , penyelesaian proses clean and clear lahan akan diteruskan hingga tahun depan.
“Masalah utama ternyata adalah lahan itu ada yang milik masyarakat, milik ulayat, ada yang sudah diploting untuk kegiatan lain seperti transmigrasi . Ini harus diclearkan semua dari awal karena kalau tidak, nanti [ketika] ladangnya jadi, masalah bisa muncul,” tambahnya.
Sejauh ini, dari luasan 4.000 Ha tersebut, ada 400 Ha yang telah menjadi kelolaan PT Garam. Di luar itu, ada pula 225 ha lahan lainnya yang rencananya juga akan diserahkan untuk dikelola PT Garam tetapi masih dalam proses untuk memperjelas kepemilikan tanah.
“Harusnya ini untuk PT Garam semua karena dekat dengan posisi yang lama tapi sekarang masih dalam proses clean and clear oleh ATR [Kementerian Agraria dan Tata Ruang],” katanya.
Selain itu, ada pula lahan seluas 3,720 Ha yang dibidik dan telah didiamkan selama sekitar 26 tahun sehingga izin penggunaannya bisa dicabut jika tidak segera dimanfaatkan.
Terkait lahan ini dan sisa lahan target untuk, pihkanya akan terbuka kepada investor manapun yang berkeinginan mengelola ladang garam selama memenuhi syarat yang salah satunya adalah harus mau bekerja sama dengan masyarakat dan bisa mensejahterakan mereka.
Terkait tanah yang merupakan milik ulayat atau tanah adat, pihaknya berencana untuk berbcata dengan masyarakat adat. Adapun untuk tanah yang diplot untuk keperluan transmigrasi, pihaknya akan berkoordinasi dengan kementerian terkait.
“Justru itu, kita harus bicara dengan pihak adat, Kementerian Transmigrasi karena ada lahan luas yang ternyata sudah diplot untuk transmigrasi tapi saat ini kosong semua. Kita minta kalau bisa [agar] dialihkan tetapi kalau jadi milik rakyat [juga] nggak masalah,” jelasnya.
Selain 10.000 Ha lahan yang ditargetkan, pihaknya juga berusaha mencari potensi lahan lain yang bisa dijadikan ladang garam seperti di Timor Tengah Selatan dan Timor Timur Utara.