Bisnis.com, JAKARTA -- Berulang kali pemerintah menggembar-gemborkan strategi menggelar pameran di negara lain sebagai salah satu ujung tombak mengungkit ekspor.
Tak terhitung pula jumlah pameran di negeri manca yang diikuti dan diinisiasi oleh pemerintah, salah satunya melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun berpendapat, pameran dapat menjadi pintu masuk ke negara lain dalam memperkenalkan produk-produk ekspor asal Indonesia.
Otoritas perdagangan tersebut menilai, pameran akan menjadi medium yang sangat pas bagi perusahaan dari berbagai skala, terutama mereka yang bergerak di sektor usaha kecil menengah (UKM), guna mengenalkan produknya di pasar internasional. Sebab, mereka tak perlu repot mencari calon pembeli atau mitra dagang secara mandiri, karena sudah difasilitasi melalui pameran.
Namun, apabila melihat sejumlah agenda pameran di luar negeri yang diikuti oleh Indonesia, terutama yang rutin digelar setiap tahun, persepsi mengenalkan produk dan perusahaan asal Indonesia rasanya tak lagi tepat. Agenda China-Asean Expo (CAEXPO) yang digelar tiap tahun sejak 2003, di Nanning, China menjadi salah satu contohnya.
Hal itu setidaknya tampak dari keragaman jenis produk yang dipamerkan dan juga peserta pameran yang hadir di paviliun Indonesia. Pada tahun ini, produk yang ditampilkan di antaranya furnitur, makanan dan minuman, fesyen, kerajinan tangan, perlengkapan spa, serta produk herbal.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Arlinda mengatakan, setidaknya 60% dari peserta pameran tahun lalu, kembali mengisi booth yang disediakan untuk produk Tanah Air. Sementara itu, mayoritas peserta pameran yang kembali hadir adalah pengusaha furnitur, fesyen dan kerajinan tangan.
“Karena produk ritel yang diminati dan menjadi unggulan ekspor Indonesia ke China memang berkisar di sektor furnitur, fesyen dan kerajinan tangan. Jadi tidak heran jika para exhibitors yang rutin datang pada tahun-tahun sebelumnya, mau untuk hadir kembali,” katanya saat ditemui Bisnis di CAEXPO 2018, Rabu (12/9).
Pernyataan dari Arlinda tersebut memang benar adanya apabila menilik data eskpor terbaru Indonesia di Badan Pusat Statistik (BPS), terutama untuk produk furnitur.
Pada periode Januari-Juli 2018 produk kayu dan barang dari kayu menempati peringkat kedelapan di bawah produk-produk barang mentah seperti batu bara dan CPO, sebagai yang paling banyak diekspor ke Negeri Panda. Nilai ekspor produk itupun sejumlah US$400 juta pada periode tersebut.
Akan tetapi, apabila menilik persepsi awal yang disematkan oleh pemerintah, yang menjadikan pameran sebagai ajang mengenalkan produk dan produsen asal Indonesia, rasa-rasanya tidak terlalu tepat saat ini.
Ekonom asal Universitas Indonesia Fithra Faisal mengakui, pameran adalah medium yang tepat untuk memacu ekspor Indonesia. Namun menurutnya, upaya tersebut akan mubazir jika terdapat peserta pameran yang datang berulang setiap tahunnya tanpa ada penggiliran ke pengusaha lainnya. Terlebih, baginya, zonasi atau klasifikasi produk yang ditampilkan juga cenderung monoton setiap tahunnya.
“Memang produk unggulan perlu dipertahankan untuk dipamerkan, karena pasar kita ada di sana. Tetapi perlu ada regenerasi atau variasi baik peserta pameran atau produk yang ditampilkan. Supaya misi pengenalan produk Indonesia menjadi lebih tepat,” paparnya.
PERSAINGAN
Di samping itu, berdasarkan pengamatan Bisnis di CAEXPO 2018, paviliun negara lain seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand tampak lebih atraktif dan ramai dihadiri oleh pengunjung dibandingkan dengan paviliun Indonesia.
Dari segi luasan, paviliun Indonesia kalah luas dibandingkan dengan Vietnam yang menyewa 1 area khusus dan separuh area tambahan yang bergabung bersama paviliun Brunei Darussalam dan Singapura.
Meskipun produk yang dipamerkan Vietnam relatif hampir sama dengan Indonesia, yakni mamin, kerajinan tangan dan furnitur. Namun paviliun Vietnam lebih ramai dikunjungi. Salah satu pengunjung asal China mengatakan, paviliun Negeri Lumbung Padi tampak lebih menarik dan letaknya lebih strategis daripada Indonesia.
Maklum, apabila menilik pemilihan posisi paviliun, Indonesia berada di posisi paling ujung. Berbeda dengan Vietnam, bahkan Thailand dan Malaysia yang letaknya di tengah.
Di paviliun Malaysia, di mana produk yang ditampilkan, hampir identik dengan milik Indonesia, mulai dari produk furnitur hingga pakaian batik. Akan tetapi pengunjungnya jauh lebih ramai dibandingkan dengan Indonesia lantaran booth yang ditampilkan lebih menarik dan berwarna.
Berkaca dari CAEXPO, Fithra menilai perlunya perubahan yang signifikan dalam menggarap paviliun Indonesia di pameran tersebut maupun di gelaran internasional lain. Terlebih Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang besar karena defisit neraca dagang dengan China yang masih tinggi, yakni sejumlah US$12,5 miliar sepanjang semester I/2018.
Dari sisi dalam negeri, pekerjaan rumah pun muncul dari proses menarik minat pelaku usaha untuk aktif mengikuti pameran internasional. Hal itu perlu dilakukan agar setiap pelaku usaha memiliki kesempatan yang sama memperkenalkan diri ke pasar global.
Adapun, berdasarkan data Kemendag, kendati jumlah peserta dan booth paviliun Indonesia meningkat, yakni 52 perusahaan dan 60 booth pada tahun lalu menjadi 66 perusahaan dan 79 booth pada 2018. Akan tetapi rupanya , tingkat keterisian booth tidak sesuai dengan kuota yang disediakan tahun ini yang mencapai 83 unit.
Nilai transaksinya pun cenderung fluktuatif. Pada CAEXPO 2016, nilai transaksi paviliun RI sejumlah US$3 juta. Namun pada gelaran tahun berikutnya, transaksinya terkoreksi menjadi US$2,61 juta, kendati tahun ini ditargetkan naik 20%.
Dengan demikian, patut ditunggu, apakah Indonesia akan berbenah untuk CAEXPO tahun berikutnya, begitu pula dengan ajang pameran internasional lainmya. Terlebih, Indonesia telah resmi ditunjuk sebagai country of honor dalam CAEXPO 2019, yang diharapkan dapat memperluas ruang penetrasi RI untuk mengeksplorasi pasar China.
Sebab, tanpa ada upaya yang lebih besar, target kenaikan ekspor ke China tiap tahunnya hanya akan menjadi tulisan di atas kertas saja. Seperti pada tahun ini yang ditargetkan naik 22% dari tahun sebelumnya.