Bisnis.com, JAKARTA--Dengan kondisi rupiah yang berada dalam tren pelemahan terhadap dolar AS, industri kemasan nasional juga terkena dampaknya, yaitu biaya produksi meningkat.
Kendati biaya produksi naik, produsen tidak bisa serta merta menaikkan harga jual karena permintaan melambat, sedangkan kapasitas produksi tetap.
"Dampaknya ya ke profit margin kami," kata Ketua Federasi Pengemasan Indonesia Henky Wibawa di Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Dia pun menyatakan telah mengusulkan agar impor bahan baku dari negara dengan mata uang selain dolar AS bisa menggunakan mata uang lokal. Selain itu, produse juga telah melakukan efisiensi dari sisi komposisi bahan baku.
"Seperti pengurangan tipis komponen tertentu, yang penting fungsi kemasannya tidak berubah," jelasnya.
Lebih jauh, dia menyatakan industri kemasan memiliki hambatan dari sektor bahan baku. Pasokan dalam negeri baru mampu memenuhi 50% dari kebutuhan, sisanya dipenuhi oleh barang impor.
Pertumbuhan industri kemasan hingga akhir tahun ini diproyeksikan berada di kisaran 5%--6% dengan nilai pasar sekitar Rp90 triliun.
Dia mengatakan selama 3 tahun terakhir, pertumbuhan industri packaging melambat dari 10% menjadi single digit.
Salah satu faktor yang menyebabkan perlambatan ini adalah perubahan gaya hidup yang menyebabkan tuntutan permintaan kemasan juga berubah.
"Market sekarang didominasi kalangan muda yang lebih aware terhadap produk sehat dan ramah lingkungan, juga produk siap saji. Tetapi, tidak semua perusahaan kemasan siap dengan teknologinya," ujarnya.
Menurutnya, dengan perubahan gaya hidup masyarakat tersebut, industri kemasan harus mulai memikirkan inovasi supaya produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan.
Selain itu, kecenderungan kaum milenial yang berbelanja ketika membutuhkan juga disebutkan sebagai salah satu penyebab perlambatan industri kemasan.
"Karena belum siap teknologinya, sekarang diisi dengan kemasan yang tidak tepat dan terkadang kemasan tidak layak," kata Henky.
Saat ini, jenis kemasan fleksibel, yang berupa kemasan berlapis tipis berbahan baku plastik atau aluminium foil seperti kemasan mi instan, mendominasi permintaan dengan porsi sebesar 45%.
Jenis kemasan paper board, printing, dan carton box memiliki porsi penjualan sebesar 28% secara total, disusul oleh kemasan plastik kaku atau rigid plastic untuk botol minuman sebesar 15% hingga 16%.
Selebihnya diisi oleh kemasan kaleng dari aluminium, kemasan gelas kaca, dan karung plastik atau wooven bag.
Henky menyebutkan beberapa jenis kemasan yang menurun permintaannya antara lain kemasan plastik fleksibel untuk produk mi instan dan kemasan plastik untuk minuman ringan.