Bisnis.com, JAKARTA — Aturan tentang peningkatan penggunaan produk dalam negeri dinilai masih belum efektif memulihkan iklim usaha domestik. Pasalnya, pemerintah belum dapat memberikan contoh penggunaan produk lokal yang lebih insentif.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, Peraturan Menteri Perdagangan No.47/2016 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri masih belum dapat digalakkan dengan efektif.
"Permendag tersebut lebih banyak fokus pada sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku usaha, tetapi tidak fokus pada sesuatu yang lebih efektif, yakni pengadaan barang dan jasa pemerintah [government procurement]," katanya, Minggu (26/8).
Dia menjabarkan, anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah pada 2018 menyentuh Rp537 triliun, lebih tinggi dari 2017 dan 2016 yang masing-masing mencapai Rp525 triliun dan Rp429 triliun.
Menurutnya, dengan anggaran tersebut, pemerintah seharusnya dapat memberi stimulus yang cukup besar terhadap kemajuan usaha dalam negeri.
Selain itu, katanya, dengan status keanggotaan World Trade Organization (WTO) Indonesia saat ini, kecenderungan pemilihan produk dalam negeri tidak menjadi hambatan, karena pemerintah belum meratifikasi kerja sama pengadaan barang dan jasa pemerintah.
"Jadi, sebenanya kita bisa bebas [untuk dapat melakukan pengadaan barang dan jasa dari dalam negeri]. Bahkan, kalau bisa 100%, itu tidak akan ada masalah, asal didanai oleh APBN," katanya.
Pengamat Kebijakan Publik Yenni Sucipto mengatakan, jika pemerintah ingin usaha dalam negeri lebih digalakkan, seharusnya kebijakan pengadaaan barang dan jasa pemerintah masuk kedalam aturan Permendag No.47/2016.
"Permendag sekarang tidak ada, sehingga pengadaan memang banyak yang kemudian lebih memilih produk luar negeri," katanya.
Dia mencontohkan, pengadaan tong sampah asal Jerman di DKI Jakarta yang jumlahnya 2.600 unit. Untuk membelinya, Pemerintah Provinsi DKI memakan anggaran senilai Rp9,51 miliar.
Tanpa aturan yang baku, sebutnya, daya saing produk lokal akan selamanya berada di bawah, dan bahkan tak menutup kemungkinan pengadaan dilakukan dengan penunjukan langsung yang lebih cenderung memilih barang impor.
"Artinya, pemerintah sendiri tidak mencontohkan penggunaan produk dalam negeri, karena tidak ada fasilitas aturan yang jelas untuk itu, hanya sebatas instruksi," ucapnya
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, tanpa peraturan yang jelas, pemerintah—terutama pemerintah daerah—sering mengesampingkan produk dalam negeri.
Padahal, jika ada aturan persentase penyerapan minimum produk dalam negeri—seperti yang diterapkan kepada pelaku ritel—usaha dalam negeri akan tumbuh secara otomatis.
"Ya minimal [syarat pengadaan barang yang menggunakan produk lokal diatur sebanyak] 60%, tidak perlu 80%. Belanja pemerintah tersebut sudah dapat menggeliatkan dunia usaha dalam negeri, dan termasuk pelaku UMKM juga," jelasnya.
Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan (LKPP) Agus Prabowo mengatakan, pihaknya sudah secara otomatis mendahulukan pengadaan dalam negeri.
"Memang tidak aturan secara khusus, tapi dalam realisasi kami mendahulukan produk dalam negeri, itu kebijakan dan inisiatif pemerintah," katanya.
Dia mencontohkan, pengadaan penerangan jalan yang pada 2016 masih menggunakan produk impor, tetapi pada 2018 sudah memilih produk dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga telah mendahulukam pengadaan alat kesehatan dalam negeri dari pada impor.