Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mempertimbangkan untuk menyerap gula petani tebu yang bermitra dengan swasta sebanyak 169.000 ton.
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Wahyu Kuncoro mengatakan dalam rapat koordinasi gula di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, perwakilan petani tebu yang bermitra dengan swasta mengajukan permintaan penyerapan itu karena harga dari Perum Bulog relatif lebih tinggi.
“Menurut petani kan harga beli Bulog jauh lebih tinggi yaitu Rp9.700 per kg dibandingkan dengan pabrik gula swasta jadi mereka juga minta supaya kami yang beli,” katanya pada Rabu (15/8).
Sejauh ini rapat koordinasi tersebut, kata Wahyu, belum menemukan titik temu dan masih dalam tahap pembahasan. Perum Bulog pun belum ditugasi oleh pemerintah untuk menyerap gula petani tersebut.
Menurut Wahyu, keputusan untuk menyerap atau tidak akan ditetapkan dalam beberapa bulan ke depan. Pemerintah juga harus menghitung kemampuan APBN untuk menyerap gula-gula tersebut.
Sementara itu, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar mengatakan belum ada penugasan lebih lanjut kepada perusahaanya untuk menyerap gula petani di pabrik gula swasta.
“[Pembelian gula petani di pabrik gula swasta] berada di di luar kapasitas kita. Kita hanya membeli sesuai penugasan pemerintah saja yang sebesar 500.000 ton,” katanya.
Bachtiar mengungkapkan ia hanya akan menjalankan tugas yang diberikan pemerintah. Jadi tidak bisa mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan lainya.
Adapun, target penyerapan gula petani oleh Bulog sampai dengan bulan April adalah 500.000 ton dan sejauh ini baru 70.000 ton yang terealisasi. Total gula petani di gudang Bulog saat ini mencapai 220.000 ton.
Di sisi lain, Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menampik permintaan petani tebu agar dibeli oleh Perum Bulog sekalipun harga yang ditawarkan lebih menggiurkan.
Menurutnya, sebelum pemerintah meningkatkan harga serapan dari Rp9.100 per kg menjadi Rp9.700 per kg, pabrik gula swasta sudah menaikkan harga lebih dulu di kisaran Rp9.300 per kg. Bahkan pabrik gula swasta berani meningkatkan rasio bagi hasil dari 66:34 menjadi 80:20 dengan pendapatan petani lebih besar.
“Swasta ini memang berperilaku pro, dia justru lebih membangun persaudaraan bukan hanya kemitraan dibandingkan [dengan] pabrik gula pemerintah yang terus menerapkan bagi hasil 66:34,” katanya.
Menurutnya daripada membahas penambahan target penyerapan gula oleh pemerintah, ada baiknya membahas tentang penyebab utama harga gula petani yang melorot. Sumitro mengindikasikan dua penyebab utama jatuhnya harga gula petani.
Yakni, kelebihan impor gula kristal putih tanpa menghitung kebutuhan dan merembesnya gula rafinasi untuk konsumsi.
Selain itu, kebijakan pelarangan truk obesitas yang digalakkan oleh Kementerian Perhubungan juga menyebabkan biaya transportasi membengkak. Hal ini mengakibatkan petani makin tercekik ketika harus mengangkut hasil panen ke pabrik.