Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERSPEKTIF: Proyeksi Konsumsi Pangan dan Kebijakan Rantai Nilai

Perbaikan kebijakan rantai nilai pangan  perlu fokus pada keseimbangan antara manajemen sisi permintaan dan sisi penawaran atau peningkatan produktivitas, karena mayoritas pusat produksi hortikultura berlokasi di Jawa. Dukungan kepada petani pangan tetap relevan untuk memenuhi standar kualitas dan keamanan pangan.
Sketsa wajah Bustanul Arifin, pakar ekonomi pangan dan Ketua Dewan Pakar Himpunan Alumni IPB
Sketsa wajah Bustanul Arifin, pakar ekonomi pangan dan Ketua Dewan Pakar Himpunan Alumni IPB

Bisnis.com, JAKARTA – Permintaan dan konsumsi pangan yang terus meningkat di Indonesia merupakan tantangan serius bagi kebijakan pangan Indonesia pada masa mendatang.

Kebijakan peningkatan produksi pangan pokok seperti beras, jagung dan kedelai tidak cukup memadai untuk memenuhi permintaan pangan yang meningkat.

Pertumbuhan penduduk, terutama kelas menengah, dan laju urbanisasi yang tinggi telah menyebabkan perubahan dalam pola diet dan permintaan pangan masa mendatang.

Pendapatan yang lebih tinggi dan pemahaman yang lebih baik tentang pangan dan kesehatan telah mendorong konsumen untuk hanya meilih pangan yang lebih sehat, beragam, bermutu dan aman.

Artikel ini membahas pola konsumsi pangan Indonsia yang mulai berubah untuk beberapa jenis pangan, terutama yang memiliki elastsitas tinggi dan relatif tetap untuk jenis pangan lain, terutama pangan pokok.

Tulisan ini merupakan ekstraksi dari hasil studi proyeksi konsumsi pangan Indonesia tahun 2025 dan 2045, dengan baseline konsumsi pangan tahun 2017 (Arifin dkk, 2018).

Komoditas pangan dalam studi ini terdiri dari beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, unggas, jeruk, apel, pisang, mangga dan salak, dan sayuran seperti bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabe rawit, bayam dan kangkung.

Hasil studi ini dapat bermanfaat sebagai referensi bagi Pemerintah, khususnya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024 masa mendatang.

Proyeksi konsumsi pangan tahun 2025 dan 2045 disusun berdasarkan hubungan fungsional antara pendapatan dan konsumsi pangan basis tahun 2017, menggunakan tiga skenario pertumbuhan ekonomi yang berbeda: baseline, moderat dan optimis.

Asumsi yang digunakan untuk melakukan simulasi adalah proyeksi penduduk, komposisi penduduk desa-kota, pendapatan per kapita dan keterjangkauan pangan per kapita.

Sistem Permintaan Hampir Ideal (AIDS=Almost Ideal Demand System) digunakan untuk memetakan tingkah laku konsumen dan prakiraan perubahan konsumsi pangan karena perubahan harga pangan, pendapatan dan lain-lain.

Data Susenas dari 2017 digunakan sebagai basis model permintaan dan data Susenas 1990-2016 untuk menganalisis tren konsumsi pangan, serta hubungan antara konsumsi pangan, tren harga, dan pendapatan di 33 provinsi di Indonesia.

Konsumsi Pangan Pokok

Konsumsi beras pada tahun 2017 tercatat 97,6 kilogram per kapita per tahun, lebih rendah dari konsumsi beras resmi Pemerintah 114 kilogram per kapita. Konsumsi daging sapi dan unggas pada lapisan pendapatan tertinggi (Kuintil 5) tercatat sebesar 6 dan 14,7 kilogram per kapita, lebih tinggi dari rata-rata nasional 2,5 dan 7,5 kilogram per kapita.

Konsumsi jagung (untuk konsumsi manusia) sekitar 2 kilogram per kapita, yang mulai bergeser menjadi barang inferior. Konsumsi jagung menurun ketika pendapatan meningkat.

Konsumsi beras diperkirakan naik 1,5% menjadi 99,08 kilogram per kapita pada 2025 dan naik 2% menjadi 99,55 kilogram per kapita pada 2045.

Proyeksi konsumsi beras setelah merujuk faktor koreksi pada Neraca Bahan Makanan (NBM) untuk kegunaan lain pangan dan non-pangan, pakan, benih, dan kehilangan, juga meningkat menjadi 102,73 kilogram pada 2025 dan 103,22 kilogram pada 2045.

Setelah menghitung hilang dan susut (lost and waste) menggunakan estimasi FAO (2011), maka konsumsi beras Indonesia diproyeksikan meningkat menjadi 127,09 kilogram pada 2025 dan 127,70 kilogram pada 2045.

Konsumsi daging unggas mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan dengan produk hewani lainnya, yaitu 22,1 % pada tahun 2025 menjadi 9,13 kilogram per kapita, dan 29,3 % pada tahun 2045 menjadi 9,66 kilogram per kapita per tahun.

Konsumsi daging sapi diproyeksikan meningkat 10,3 % menjadi 2,79 kilogram per kapita pada tahun 2025, dan 20,4 % menjadi 3,04 kilogram per kapita pada tahun 2045. Proyeksi konsumsi ikan meningkat 11 % menjadi 29,09 kilogram per kapita per tahun pada 2025 dan 14,6 % menjadi 30,04 kilogram per kapita pada 2045.

Daging sapi dikonsumsi oleh kelompok berpendapatan tinggi, terutama di daerah perkotaan. Daging unggas dikonsumsi oleh semua kelompok pendapatan, termasuk kelompok pendapatan terendah.

Konsumsi sayuran dan buah masa mendatang tertinggi terjadi pada apel, meningkat 55% pada 2025 menjadi 1,49 kilogram per kapita, dan 73,5% pada 2045 menjadi 1,66 kilogram per kapita.

Konsumsi apel lebih banyak berasal dari apel impor, yang sebagian besar dikonsums oleh masyarakat perkotaan berpenghasilan tinggi dan menengah. Konsumsi buah lokal seperti jeruk, pisang, salak dan mangga pada 2025 dan 2045 tidak setinggi apel.

Konsumsi gula pada 2025 dan 2045 diperkirakan meningkat menjadi 8,98 dan 9,12 kilogram per kapita. Peningkatan konsumsi gula tidak signifikan, dibandingkan dengan kelompok komoditas pangan lainnya.

Total konsumsi gula akan mencapai 25,6 juta ton pada 2025 dan 29,1 juta ton pada 2045. Sekadar catatan, konsumsi gula di sini di luar konsumsi kue, minuman dan produk pangan lain yang menggunakan gula rafinasi dan turunannya.

Relevansi Kebijakan

Beras masih merupakan pangan pokok, bahkan sampai 2045. Akses pangan menjadi faktor penting dalam ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Akses beras, terutama pada kelompok miskin dan menengah, sama pentingnya dengan stabilitas harga eceran beras.

Kebijakan bantuan pangan untuk kelompok pra-sejahtera tetap relevan untuk dijadikan strategi untuk menjaga kecukupan pangan dan gizi. Program BPNT (bantuan pangan nontunai) sebagai pengganti Rastra (beras untuk keluarga pra-sejahtera) perlu lebih kompatibel dengan perkembangan infrastruktur, teknologi data dan kesiapan pengampu kepentingan di segenap pelosok Tanah Air.

Pada daging sapi, ayam dan ikan, langkah-langkah pembenahan infrastruktur pasar, termasuk pasar ritel modern dan pasar tradisional, akan memperbaiki kinerja rantai nilai sumber protein hewani ini secara signifikan.

Kebijakan rantai nilai tidak hanya memperbaiki akses pangan pada semua kelompok pendapatan, juga akan memengaruhi kinerja pelaku ekonomi pangan seperti petani, pengecer, prosesor, grosir, pedagang pengumpul perdesaan dan lain-lain.

Para pelaku ini sebenarnya berfungsi sebagai penyambung lidah yang diinginkan pasar seperti spesifikasi produk, keamanan pangan, kesehatan dan persyaratan higienis, standar kualitas halal dan lainnya.

Pelaku ekonomi pada rantai nilai buah dan sayur memerlukan akses ke fasilitas penyimpanan berpendingin, termasuk sistem atmosfer terkendali (controlled atmospher system/CAS) yang dapat meningkatkan efisiensi produk.

Perbaikan kebijakan rantai nilai perlu fokus pada keseimbangan antara manajemen sisi permintaan dan sisi penawaran atau peningkatan produktivitas, karena mayoritas pusat produksi hortikultura berlokasi di Jawa. Dukungan kepada petani pangan tetap relevan untuk memenuhi standar kualitas dan keamanan pangan.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (7/8/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper