Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah pada Selasa (31/7/2018) mengumumkan bahwa pengelolaan Blok Rokan selama 20 tahun sejak 2021 akan diberikan kepada PT Pertamina (Persero).
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan keputusan itu diambil berdasarkan evaluasi sisi komersial proposal pengelolaan yang diajukan Pertamina dan operator eksisting PT Chevron Pacific Indonesia.
Oleh karena itu, ujarnya, pemberian pengelolaan Blok Rokan ke Pertamina tidak berdasarkan tekanan politik.
“Kita compare sisi komersial. Kita tahu siapa pun pengelola Blok Rokan atau blok-blok terminasi harus bisa memberikan yang lebih dari pada kontrak sebelumnya,” ujarnya.
Sisi komersial itu dilihat dari signature bonus, komitmen kerja pasti, potensi negara, serta diskresi menteri. Diskresi ini dikarenakan skema kontrak menggunakan gross split. Pemerintah, sambungnya, menyetujui ajuan Pertama yang menggunakan diskresi 8%.
Blok terminasi harus bisa memberikan yang lebih dari pada kontrak sebelumnya
Terhadap blok yang saat ini memiliki produksi rata-rata sekitar 200.000 barel per hari (bph) ini, sambung Arcandra, Pertamina mengajukan signature bonus US$784 juta atau sekitar Rp11,3 triliun. Adapun, komitmen kerja pasti dijanjikan senilai US$500 juta atau Rp7,2 triliun.
Potensi pendapatan negara dalam 20 tahun ke depan, lanjutnya, senilai US$57 miliar atau sekitar Rp825 triliun. Menurutnya, potensi pendapatan negara ini diharapkan memberikan kebaikan bagi seluruh Indonesia.
Proposal Pertamina Lebih Bagus
Pelaksana tugas (Plt.) Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati pun mengklaim proposal Pertamina yang diajukan terkait pengelolaan Wilayah Kerja Rokan lebih bagus dari PT Chevron Pacific Indonesia.
Dia menyebutkan dalam proposal itu pihaknya tidak hanya menghitung keekonomian dari pengelolaan blok yang akan habis kontrak pada 2021 tersebut, tetapi juga turut memperhitungkan dampak jangka panjang dari sisi hilir.
Nicke yakin hal itulah yang membuat Pertamina mampu memenangkan Blok Rokan yang berlokasi di Provinsi Riau.
“Dengan kami memproduksi sekian itu turun berapa harga pembelian crude. Dampak jangka panjang di hilirnya. Ini yang tidak dimiliki Chevron,” ujarnya di Jakarta pada Selasa (31/7/2018).
Menurutnya, tiga aspek yang menjadi parameter penilaian, seperti signature bonus, komitmen pasti, dan perhitungan split yang ditawarkan Pertamina juga lebih unggul.
“Jadi, menyebutnya 100% masuk ke kilang kami. Kami bandingkan digabung upstream downstream berapa pun porsi pemerintah akan masuk ke kilang kami juga. Ini mengurangi impor juga,” ujar Nicke.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan dalam pengelolaan awal, perseroan akan fokus pada lapangan-lapangan yang selama ini belum dikelola oleh kontraktor eksisting, Chevron.
“Kalau berjalan lebih baik mudah-mudahan bisa menahan decline jadi produski 2021 kedepan tidak drop banyak mudah-mudahan bisa kita tingkatkan, terutama program EOR berhasil denagan baik,” tuturrya.
Dalam 20 tahun ke depan, komitmen investasi untuk belanja modal sekitar US$70-an miliar. Ini belum termasuk belanja operasional. Angka itu belum termasuk EOR. Dia mengatakan penerapan EOR mulai muncul 2024. “Pada 2024 sudah ada pilot responsnya bagus kita pasti invest lebih besar.”