Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

29 Pakta Perdagangan belum Dimaksimalkan untuk Genjot Ekspor

Indonesia belum mampu memaksimalkan peluang dari perjanjian kerja sama perdagangan internasional, kendati hal itu menjadi prioritas untuk menopang kinerja ekspor di tengah berbagai gejolak global.
Pemetaan negosiasi perdagangan internasional RI./Bisnis-Husin Parapat
Pemetaan negosiasi perdagangan internasional RI./Bisnis-Husin Parapat

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia belum mampu memaksimalkan peluang dari perjanjian kerja sama perdagangan internasional, kendati hal itu menjadi prioritas untuk menopang kinerja ekspor di tengah berbagai gejolak global.

29 Pakta Perdagangan belum Dimaksimalkan untuk Genjot Ekspor

Kerja sama perdagangan menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (16/7/2018). Berikut laporannya.

Dari 29 negosiasi kerja sama perdagangan internasional yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia, baru beberapa yang telah terealisasi dan tengah ditinjau ulang untuk perbaikan.

Sejumlah kerja sama itu a.l. Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (PTA), Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Asean-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA), dan Asean-India Free Trade Area (AIFTA). 

Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani, pemerintah dan pengusaha masih terus mengevaluasi beberapa kerja sama perdagangan yang dinilai ‘berat sebelah’.

“Banyak pakta dagang yang masih dalam proses negosiasi terutama yang berbentuk comprehensive economic partnership agreement ,” katanya, akhir pekan lalu.

Kadin dan pemerintah, lanjutnya, akan mempercepat beberapa negosiasi perdagangan strategis agar selesai tahun ini. Negosiasi prioritas itu a.l. Indonesia-Australia CEPA (IA-CEPA), Indonesia-EFTA CEPA, dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Terkait dengan negosiasi IEU-CEPA dengan Uni Eropa, Shinta mengaku salah satu fokus permintaan Indonesia yang tengah dibahas di perundingan putaran ke-5 di Brussels adalah penghapusan tarif bagi produk tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki asal Indonesia.

Indonesia, lanjutnya, juga telah menyampaikan rekomendasi klarifikasi isu kelapa sawit terkait dengan resolusi terbaru Parlemen Uni Eropa yang hendak menghapuskan penggunaan biodiesel berbasis sawit pada 2030.

Sementara itu, untuk IA-CEPA, proses perundingan hampir selesai dan tinggal penyelesaian rancangan di tingkat kementerian terkait di masing-masing negara. Pakta dagang antara Indonesia dan Australia itu diharapkan bisa selesai tahun ini.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan Indonesia berupaya keras memanfaatkan peluang pasar ekspor, di tengah perang dagang Amerika Serikat dan China, melalui kerja sama RCEP.

“Kami ingin memanfaatkan celah kebutuhan produk impor China yang selama ini dikirim oleh AS melalui RCEP. Sebaliknya, melalui RCEP juga, kami mengantisipasi agar China tidak mengalihkan kelebihan produk ekspornya ke Indonesia, terutama produk yang tidak kita butuhkan,” tegasnya.

Di sisi lain, Direktur Kerja Sama APEC dan Organisasi Kemendag Deny W. Kurnia mengklaim sejauh ini pakta kerja sama dagang yang sudah dijalin terbukti mampu mendorong aktivitas ekspor Indonesia.

“Hal itu tercermin dari surplus neraca perdagangan nonmigas sepanjang tahun ini. Peninjauan ulang memang dibutuhkan, jika terbukti memberikan merugikan, seperti permintaan kami untuk mengevaluasi ACFTA, di mana RI mengalami defisit, atau kurangnya aksesibilitas produk Indonesia dalam IJEPA,” ujar Deny.

MASALAH NONTARIF

Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal berpendapat belum efektifnya dampak dari kerja sama perdagangan internasional dipicu oleh banyaknya masalah nontarif yang tak terselesaikan dalam proses negosiasi.

Akibatnya, banyak produk Indonesia tetap tidak mampu menembus pasar negara mitra sekalipun telah tercapai kesepakatan kerja sama. “Rata-rata utilisasi dari pemanfaatan kerja sama dagang tersebut baru sekitar 30%,” sebutnya.

Di sisi lain, para pengusaha menilai kerja sama dagang internasional telah efektif menopang neraca dagang, dan berharap pemerintah dapat lebih mempercepat kerja sama dagang lainnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B. Sukamdani mengaku para pengusaha merasa cukup terbantu dengan kerja sama dagang sejauh ini, karena mendapat penurunan tarif bea masuk untuk beberapa komoditas.

“Kerja sama dagang sangat efektif, karena dia memberikan tarif yang lebih murah dan bahkan kita yang masih ketinggalan dari negera-negara telah membuat kerja sama dagang lebih dahulu, seperti Vietnam dan Thailand,” katanya.

Namun, Hariyadi tetap berharap pemerintah dapat memperjuangkan kerja sama yang saling menguntungkan dalam negosiasi, terutama untuk Eropa dan Australia.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia Aziz Pane juga mengaku cukup terbantu banyak dengan adanya perjanjian dagang. Hanya saja, dia mengeluhkan kekurangan pemerintah dalam penyediaan kapal untuk pengiriman ban dari Indonesia. “Ban kita mahal karena biaya pengiriman, tidak ada perusahaan perkapalan Indonesia yang mau kirim ban saja.”

Senada dengan pelaku usaha lainnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan industri TPT juga cukup menikmati banyak manfaat dari kerja sama dagang.

“Contohnya, kerja sama dengan Jepang yang mulai berlaku sejak 2010 tersebut telah meningkatkan ekspor TPT kita ke Jepang mendekati 200%,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper