Bisnis.com, JAKARTA -- Belum siginifikannya dampak kerja sama perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara mitra terhadap ekspor Tanah Air, disebabkan masih terbatasnya jumlah kerja sama dagang bebas yang telah terjalin.
Di sisi lain, pemerintah dan pelaku usaha masih terus melakukan evaluasi yang mendalam terhadap beberapa kerja sama perdagangan yang dinilai berat sebelah. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani.
“Memang belum signifikan [dampak kerja sama perdagangan terhadap ekspor], karena banyak pakta perjanjian dagang yang masih dalam proses negosiasi terutama yang berbentuk CEPA,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Maka dari itu, Shinta mengaku Kamar Dagang dan Perindustrian Indonesia bersama pemerintah berusaha menggeber sejumlah kerja sama dagang strategis agar dapat selesai pada tahun ini. Dalam hal ini dia menyoroti sejumlah pakta kerja sama perdagangan berbentuk comprehensive partnership agreemment (CEPA) yang penyelesaiaannya dikebut oleh pemerintah.
Pakta tersebut a.l. Indonesia-Australian CEPA (IA-CEPA), Indonesian-EFTA CEPA, Regional Comprehensive Economic Patnership (RCEP) yang pembahasannya ditargetkan selesai pada tahun ini. Tenggat penyelesaian yang sama pun diterapkan pada Indonesia-Japan EPA (IJEPA) yang proses peninjauan ulangnya ditargetkan selesai pada 2018.
Terkait IEU-CEPA, dia mengaku menyerahkan seluruh proses perundingan kepada pemerintah. Akan tetapi, dia menyebutkan bahwa salah satu fokus permintaan Indonesia kepada Uni Eropa yang sedang dibahas adalah penghapusan tarif produk TPT dan alas kaki.
Selain itu Indonesia juga telah menyampaikan rekomendasi klarifikasi isu kelapa sawit terkait resolusi terbaru Parlemen Uni Eropa tentang energi terbarukan.
Semetara itu, untuk IA-CEPA, proses perundingan telah hampir selesai dan tinggal proses penyelesaian rancangan di tingkat kementerian terkait di masing-masing negara. Dia meyakini pakta kerja sama tersebut akan selesai pada tahun ini..
Di sisi lain, dia mengklaim kerja sama perdagangan bebas yang telah dilaksanakan antara Indonesia dengan negara mitra telah memiliki dampak yang besar pada aktivitas ekspor Tanah Air, terutama pada komoditas ekspor andalan seperti TPT dan makanan minuman. Sumbangan terbesar, lanjutnya, datang dari kerja sama perdagangan berbentuk bilateral preferential trade agreements (PTA) dan free trade agreements (FTA).
Senada, Direktur Kerjasama APEC dan Organisasi Internasional Kementerian Perdagangan Deny W.Kurnia mengklaim sejauh ini pakta kerja sama dagang yang telah dijalin, terbukti mampu mendorong aktivitas ekspor Indonesia. Hal tersebut dibuktikan melalui surplus neraca perdagangan komoditas non-migas Tanah Air sepanjang tahun ini.
“Peninjauan ulang memang dibutuhkan, jika terbukti memberikan kerugian yang besar kepada Indonesia. Seperti permintaan kami untuk evaluasi pakta ACFTA dengan China, di mana kita lebih banyak defisitnya, atau kurangnya aksesbilitas produk kita dalam IJEPA,” katanya.
Deny mengaku akan memperjuangkan proses negosiasi ulang apabila kerja sama tidak memenuhi sisi keadilan bagi masing-masing negara. Kendati demikian, dia menyatakan negosiasi dan proses peninjauan ulang kerja sama perdagangan akan tetap dilakukan sesuai koridor yang ditentukan oleh Organisasi Dagang Internasional (WTO).
Selain itu, dia mengaku, Kemendag tengah mengupayakan kerja sama dagang bilateral sebagai salah satu ujung tombak Indonesia untuk membuka pasar yang lebih luas di kancah global. Pasalnya, kerja sama bilateral dianggap lebih efektif lantaran tingkat kemudahan pengelolaan, negosiasi dan penghitungan dampak dari pakta tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan menyatakan, Indonesia akan memanfaatkan peluang yang muncul sekaligus menciptakan proteksi yang kuat akibat perang dagang AS-China, melalui sejumlah kerja sama perdagangan terutama RCEP.
“Kami ingin memanfaatkan celah kebutuhan produk impor China yang selama ini dikirim oleh AS melalui RCEP. Sebaliknya, melalui RCEP juga, kita harus antisipasi agar China tidak alihkan kelebihan produk ekspornya ke Indonesia, terutama produk yang tidak kita butuhkan,” katanya.
Terpisah, Direktur Indonesia for Global Justice (IGC) Rachmi Hertanti mengatakan, kerja sama perdagangan bebas yang diteken Indonesia justru semakin memperkuat ketergantungan terhadap produk impor. Alhasil produk domestik justru tergusur akibat melimpahnya impor.
“Rata-rata manfaat kerja sama perdagangan bebas terhadap ekspor masih sangat rendah, yakni berkisar 30%-35% terhadap ekspor keseluruhan. Sementara di Asean sendiri, pemanfaatan FTA bagi Indonesia masih di level 6%,” katanya.
Untuk itu dia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang setiap kerja sama dagang yang merugikan Indonesia.
Seperti diketahui, per Mei 2018 setidaknya terdapat 28 kerja sama dagang yang tengah dinegosiasikan dan atau sedang melalui proses ratifikasi oleh Indonesia. Beberapa pakta kerja sama dagang strategis yang melibatkan Indonesia a.l. IA-CEPA, IEU-CEPA, Indonesia-EFTA CEPA, RCEP, dan IJEPA.
Terkait IEU-CEPA, Uni Eropa memang tengah mencari pasar baru di tengah meningkatnya hambatan ekspor ke negara mitra dagang utama mereka yakni Amerika Serikat. Salah satu kawasan yang dituju adalah Asean.
Di Asia Tenggara, hingga saat ini hanya Vietnam dan Singapura yang telah menyelesaikan CEPA dengan Eropa. Sementara itu Indonesia, Thailand serta Filipina masih dalam pembahasan untuk mencapai kesepakatan tersebut. RI sendiri baru memasuki negosiasi putaran kelima pada 9-13 Juli lalu, sementara Vietnam harus menempuh delapan kali perundingan agar dengan Uni Eropa.
Hal serupa pun dilakukan oleh China dengan memanfaatkan RCEP. Kawasan Asean ditambah lima negara mitra lain yakni Australia, India, Jepang, Korea Selatan dan Selandia Baru, dinilai sebagai pasar yang potensial bagi Negeri Panda di tengah himpitan kontrol ekspor ke AS yang berlebih.